Era Digitalisasi Ekonomi Harus Diikuti Regulasi yang Tepat

Mantan Dirjen PHI dan Jamsos Mira Hanartani yang kini bergabung ke Apindo didampingi moderator (kanan) memberikan pendapatnya tentang era ekonomi digital.
Mantan Dirjen PHI dan Jamsos Mira Hanartani yang kini bergabung ke Apindo didampingi moderator (kanan) memberikan pendapatnya tentang era ekonomi digital.

JAKARTA, MARITIM.

Era digitalisasi dan otomatisasi dipastikan akan membawa implikasi yang signifikan, terutama terkait aspek sumber daya manusia. Ada pekerjaan yang hilang,tapi juga ada pekerjaan yang baru, misalnya angkutan online.

Read More

Hubungan industrial pun juga terdampak, karena hubungan kerja pada industri online menggunakan perjanjian kerja kemitraan dengan sistem bagi hasil yang ternyata belum ada regulasi yang mengatur. Negara harus hadir untuk mengantisipasi implikasi ekonomi digital  melalui penyesuaian regulasi, sehingga kehadiran ekonomi digital bisa bermanfaat bagi dunia kerja.

Masalah ini mencuat dalam diskusi interaktif “Implikasi Digital Ekonomi Dalam Konteks Hubungan Industrial di Indonesia” yang diselenggarakan Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial TenagaKerja, Kementerian Ketenagakerjaan di Hotel Royal Kuningan Jakarta, Rabu(21/2).

Dipandu moderator Adityawarman dari Kadin Indonesia, diskusi interaktif sehari yang diikuti berbagai stakeholder itu menghadirkan beberapa narasumber. Antaralain  Prof. Dr. Susetiawan (Univ. Gajah Mada), Agung Pambudi DirekturEksekutif APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia) dan Syaiful Tavip (Ketua Umum Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia) yang mewakili unsur serikat pekerja.

Menurut Syaiful Tavip, era digital tak perlu diresahkan karena dunia terus berubah seiring perkembangan teknologi. Apakah era digital membuka atau mengurani lapangankerja, tapi menolak digital ekonomi berarti akan ketinggalan. Di era digital, hubungan industrial juga beda, berupa perjanjian kerja sama (PKS), tapi tidak ada dalam undang-undang tenaga kerja.

“Beberapa tahun lalu kita sangat kencang menolak outsourching. Saat itu luar biasa sensitifnya. Sekarang di era digital gaungoutrsourching meredup,” ujarnya.

Ia menyebut kalangan sales mengeluh perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) sekarang diubah menjadi PKS, karena penghasilannya didasarkan bonus, bukan gaji.

Mereka perlu mendapat perlindungan. Untuk itu, Tavip mengusulkan UU Ketenagakerjaan selain perlu tetap mengatur hubungan industrial yang konvensional juga harus disempurnakan dengan kondisi ekonomi digital. Sehingga mereka tetap bekerja dengan penghasilan yang layak.

Dianggap mau kiamat

Prof. Susetiawan mengatakan, kedatangan era digital jangan dianggap dunia mau kiamat. Yang kita harapkan adalah kerja layak, penghasilan kayak, hidup layak. Sekarang semua usaha yang konvensional berubahke online. Banyak orang pindah ke gojek atau grab, karena mereka dapat penghasilan lebih baik.

Dalam perkembangan teknologi, banyak undang-undang yang harus diubah/disempurnakan,di antaranya UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Negara harus melakukan redefinisi terhadap hubungan kerja yang terdapat pada undang-undang ketenagakerjaan. Yakni menerjemahkan ulang pengertian hubungan kerja untuk mengantisipasi implikasi digital ekonomi dalam bidang  ketenagakerjaan, sehingga hak-hak pekerja dapat terlindungi.

Selain itu, negara juga harus mengidentifikasi pekerjaan mana yang melakukan produk barang/jasa dan pekerjaan mana yang terintegrasi dengan teknologi digital.

Menurut dia, tidak semua pekerjaan hilang di era digital. Pekerjaan seperti mediasi, community development masih diperlukan tapi membutuhkan social skill. Perkara membutuhkan alat, namun proses memecahkan persoalan bersama masih butuh unsur manusia.

Menanggapi adanya penolakan perubahan UU 13/2003, guru besar UGM itu mengatakan, perubahan bisa hanya dengn mengganti beberapa pasal atau penyempurnaan.

“Undang-undang bukan kitab suci, tapi harus mengikuti perkembangan. Undang-undang mengajarkan mengatur keadilan. Kalau tidak akomodatif, bagaimana bisa mengatur keadilan dan persoalan baru,” tegasnya.

Terkaiat soal ini, Agung Pambudi mengatakan, pengembangan keterampilan pekerja tetap diperlukan untuk mengantisipasi perkembangan teknologi. Memang ada gap kemampuan pekerja yang cukup tinggi. Di satu sisi, jumlah penganggur masih relatif banyak, di sisi lain masih susah mencari tenaga terampil.

Dunia usaha memerlukan tenaga kerja terampil. Pemerintah menyediakan lebih 300 BLK (Balai Latihan Kerja) untuk menciptakan tenaga kerja terampil. Namun BLK yang ada di beberapa daerah belum memberikan pelayanan dengan baik karena peralatan yang dimiliki sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini, serta tidak tersedianya instruktur yang memadai.

“Untuk itu diperlukan lembaga pelatihan seperti ATC (Apindo Trade Centre). Diperlukan pemilahan jenis pekerjaan yang telah menggunakan digitalisasi dan mana yang tidak,” sambungnya.

Era digital ekonomi juga menimpa media masa yang sekarang masih terbit dalam bentuk konvensional (koran/majalah), sehingga oplahnya menurun. “Kalau dulu oplah Koran mencapai 15 juta/hari di seluruh Indonesia, kini menurun hanya 12 juta. Sekarang banyak media yang diseting ke arah digital,” kata Heri Triyanto dari Bisnis Indonesia Grup yang mewakili surat kabar.***(Purwanto.)

 

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *