RAKER TAHUNAN CIMA, Satukan Persepsi Hadapi Pelaksanaan UU PPMI

Ketua Umum DPP CIMA Gatot Cahyo Sudewo (kiri) didampingi Sekjen Nestor Tacazily beserta panitia lainnya santai sejenak saat membahas finalisasi rapat kerja tahunan 2018
Ketua Umum DPP CIMA Gatot Cahyo Sudewo (kiri) didampingi Sekjen Nestor Tacazily beserta panitia lainnya santai sejenak saat membahas finalisasi rapat kerja tahunan 2018

Jakarta, Maritim.

Konsorsium Perusahaan Pengawakan Kapal Indonesia atau CIMA (Consortium of Indonesian Manning Agencies) Rabu (5/12/2018) menyelenggarakan Rapat Kerja Tahunan (RKT) 2018 yang dihadiri seluruh anggotanya. Rapat sehari yang berlangsung di Telaga Sampireun, Ancol , Jakarta, ini bertema ‘Perundang-undangan kepelautan yang berpihak pada iklim usaha di Indonesia’.

Read More

Ketua Umum CIMA Gatot Cahyo Sudewo mengatakan, selain melaporkan kegiatan organisasi (internal dan eksternal) selama 2018 (Januari-Desember) dan membahas program kerja 2019, sejumlah agenda juga akan dibahas dalam RKT. Antara lain terkait UU No. 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) dan rencana pemerintah menerbitkan sejumlah aturan turunannya. Baik berupa peraturan pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), maupun Peraturan Menteri (Permenaker).

Menurut Gatot, CIMA secara aktif terus mengawal pembahasan rencana pembuatan PP tersebut yang hingga sekarang belum selesai. Pihaknya selama ini sering melakukan diskusi dan memberikan masukan kepada instansi terkait, khususnya Kementerian Ketenagakerjaan yang menjadi leading sector dalam perumusan aturan turunan UU PPMI.

“Pembahasan PP tersebut merupakan masalah krusial yang perlu disikapi oleh CIMA beserta seluruh anggotanya. Karena itu, seluruh anggota dipanggil dalam RKT agar ikut memberikan pendapat dan masukannya,” kata Gatot dalam perbincangan dengan Maritim di Jakarta, Jumat (30/12).

Masalah serius yang dihadapi CIMA saat ini, kata Gatot, terkait pelaksanaan UU PPMI yang mewajibkan perusahaan pengawakan kapal untuk menyetor uang kepada bank pemerintah dalam bentuk deposito minimal Rp 1,5 miliar sebagai jaminan untuk memenuhi kewajiban dalam perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI).

Wajib setor deposit Rp 1,5 miliar itu merupakan persyaratan bagi perusahaan untuk memperoleh Surat Ijin Perekrutan dan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI). Selain itu, perusahaan juga harus memiliki modal disetor yang tercantum dalam akta pendirian perusahaan paling sedikit Rp 5 miliar.

“Inilah yang jadi masalah krusial karena wajib setor deposit Rp 1,5 miliar itu sangat memberatkan bagi perusahaan pengawakan kapal. Keberatan CIMA ini telah kami sampaikan secara tertulis kepada Menteri Ketenagakerjaan. Tapi kalau deposit Rp 1,5 miliar tetap dipaksakan pasti banyak perusahaan akan kolaps alias bangkrut,” tegas Gatot.

Untuk itu, semua anggota CIMA perlu menyamakan persepsi tentang langkah-langkah yang akan diambil jika PP turunan UU PPMI itu diterbitkan dengan tetap mengacu pada kewajiban setor deposit Rp 1,5 miliar. “Saya yakin setiap pelaku usaha pengawakan pasti akan keberatan,” tandasnya.

Persyaratan modal yang ditetapkan pada pasal 54 (butir b) UU No.18/2017, kata Gatot, perlu dilakukan pembahasan secara detail karena sifat perlindungan yang berlaku terhadap awak kapal (pelaut) sangat berbeda dengan PMI yang lain. Perlindungan pelaut secara langsung ditanggung oleh prinsipal (Ship Management/Ship Manning Agencies) yang penempatannya dilakukan melalui kesepakatan internasional.

Secara umum perlindungan pelaut ditanggung oleh asuransi P&I (Protection and Indemnity). Sehingga Ship Manning Agencies tidak perlu lagi menyiapkan dana pertanggungan asuransi (dana perlindungan) untuk pelaut yang bekerja di luar negeri, sementara yang dalam negeri ditanggung oleh asuransi dalam negeri.

Dengan demikian, deposit Rp 1,5 miliar seperti tercantum dalam Pasal 54 itu tidak diperlukan bagi perusahaan perekrut dan penempatan awak kapal, karena sifat perlindungan pelaut berbeda dengan perusahaan perekrut tenaga kerja Indonesia lainnya (TKI),” sambungnya.

SIUPPAK

Secara terpisah, Presdir PT Ratu Oceania Raya Deddy Herfiandi berharap perusahaan yang telah memperoleh SIUPPAK tetap dipertahankan. Tidak perlu dikutak-katik lagi, apalagi harus menyerahkan deposit miliaran rupiah karena akan memberatkan perusahaan.

“Deposit sebagai jaminan tidak perlu, karena semua pelaut di luar negeri telah dilengkapi dengan CBA (Collective Bargaining Agreement) yang di dalamnya antara lain berisi jaminan asuransi,” tegasnya.

Menurut Gatot, selama ini perusahaan pengawakan kapal telah mendapat izin penempatan pelaut berupa usaha penempatan awak kapal. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 45/2015 sebagai aturan turunan UU No.17/2008 tentang Pelayaran. Dalam pasal 5 ayat (4) disebutkan, badan usaha harus memenuhi persyaratan administrasi dan teknis sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai penempatan dan perekrutan awak kapal dan persyaratan kepemilikan modal.

“Persyaratan kepemilikan modal dasar paling sedikit Rp 3 miliar dan modal disetor minimal  Rp 750 juta,” katanya.

Ditambahkan, izin perekrutan dan penempatan awak kapal yang dikeluarkan oleh Kementerian Perhubungan Laut itu berupa SIUPPAK (Surat Ijin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal). Hingga akhir Oktober 2018, perusahaan yang telah memperoleh SIUPPAK ada 111 perusahaan, termasuk anggota CIMA yang kini tercatat 47 perusahaan.

Di sisi lain, Gatot menjelaskan, dalam periode setahun ini pihaknya  telah menjalin kerjsama dengan pihak eksternal, baik instansi pemerintah maupun pihak swasta terkait. Salah satunya dengan POLIMARIN (Politeknik Maritim Negeri Indonesia) Semarang dalam FGD (Forum Diskusi Grup) terkait pendidikan vokasi maritim di Indonesia.

Dalam hal ini, pemerintah Inggris akan memberi bantuan khusus untuk maritim di Indonesia.  CIMA meminta pemerintah Inggris untuk segera merecognize COC (Certificate of Competence), COP (Certificate of Profeciency) , Buku Pelaut Indonesia, sehingga diharapkan peluang kerja bagi pelaut Indonesia di kapal berbendera Inggris segera terlaksana.

“Kendala yang dihadapi sekarang adalah terkait standar sistem pendidikan & kurikulum belum sesuai dengan aturan EMSA (European Maritime Safety Agency),” ujarnya.

Ditambahkan, saat ini total anggota CIMA tercatat 47 perusahaan. Jumlah ini naik 24% dibanding 2017.

Legalisasi CIMA yang disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM pada 2016, kini telah membuka cabang di Batam (wilayah barat) dan Bali (wilayah timur). Dalam meningkatkan kinerja merekrut dan menempatkan pelaut, CIMA bermitra dengan berbagai pihak di dalam dan luar negeri. Termasuk menjalin hubungan dengan Kedubes Amerika Serikat dan Inggris dalam upaya meningkatkan pengiriman pelaut ke dua negara tersebut.

Dalam raker tersebut CIMA juga mengundang DR. KoesPranowo dan  Nanang Risnandar, M.Mar.Eng sebagai pembicara sekaligus mengangkat kedua senior di bidang kemaritiman itu sebagai anggota kehormatan CIMA. Sehingga diharapkan CIMA akansemakin solid dalammengembangkan networking dengan berbagai elemen/instansi terkait.

***Purwanto.

 

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *