Investasi di Semarang Terganggu Penurunan Tanah

SEMARANG – MARITIM : Seperti halnya pada kota-kota tua yang berlokasi di tepi laut, awalnya Pelabuhan Semarang hanya berupa fasilitas sederhana berupa tambatan yang dapat digunakan berlabuh perahu-perahu kayu berukuran kecil. Untuk kapal-kapal yang lebih besar, terpaksa harus membuang sauh di lepas pantai. Termasuk di antaranya adalah kapal-kapal dagang dari Hindustan dan Portugis yang berkunjung ke Semarang untuk membeli hasil bumi utama antara lain berupa buah asam dan kayu yang sudah menjadi arang (a-SEM dan ARANG yang kemudian berubah pengucapan menjadi Semarang).

Diperkirakan, lokasi bandar Semarang waktu itu, berada di sekitar 5 Km lebih selatan dari garis pantai yang ada sekarang. Ini dicatat oleh Tome Pires pengelana Portugis dalam jurnal ‘Suma Oriental’  dan juga Laksamana Cheng-hoo yang menyandarkan kapal jung di Kali Simongan. Menurut catatan sejarah tulis, Pelabuhan Semarang mulai dioperasikan pada 2 Mei 1547 bertepatan dengan penobatan Pandan Arang II yang menggantikan kedudukan Kyai Ageng Pandan Arang I yang adalah pendiri kota Semarang.

Berdasar kajian sosial dan morfologi, perkembangan ke arah utara kota Semarang, terpicu oleh pertumbuhan industri dan perdagangan yang memerlukan lahan lebih luas. Dalam pada itu, akibat terjadinya kolmatase, pengerasan lahan perairan dangkal, kemudian terjadi tanah “muda”, yang kendati bersifat labil tetapi cukup menjanjikan sebagai lahan hunian dan aktifitas ekonomi lain. Namun, akibat dari beratnya beban yang harus didukung, maka terjadi penurunan permukaan tanah di tahan baru tersebut.

Kondisi tersebut, diperparah dengan perkembangan industri di Ibukota Jawa Tengah yang dilihat dari gencarnya pembangunan properti, dinilai tak sesuai dengan kondisi lingkungan. Apalagi bila ditinjau dari tata guna lahan, mayoritas industri di kota Semarang hanya lebih mengandalkan penggunaan air tanah, dibanding dengan suplai dari dinas yang mengelola distribusi air di kota ini.

Sebvagai salah satu akibat dari fenomena seperti tergamnbar di atas, Bambang Setyoko pakar Tata Kota dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang menyebutkan, penurunan muka tanah yang terjadi di wilayah pesisir Kota Semarang mengakibatkan sebagian investor memindahkan bisnisnya ke wilayah lain. Menurutnya, sejumlah wilayah yang mengalami penurunan di Semarang yakni di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, Bandarharjo, Johar, Kemijen dan Boom Lama.

Menurut bambang, wilayah tersebut, dulunya merupakan kawasan yang jadi pendukung roda perekonomian yang ada di Kota Semarang. Namun, keadaan tanah yang tidak stabil membuat banyak investor berfikir ulang.

Ungkapnya: “Sekarang dapat dilihat beberapa perusahaan besar mulai pindah dari kawasan pesisir Semarang. Menurut para investor, kawasan pesisir sudah tidak layak untuk dijadikan tempat berbisnis. Karenanya, sejumlah perusahaan lainnya lebih memilih memindahkan bisnisnya ke Kawasan Industri Kendal, di Mranggen, Mijen dan juga Gunung Pati. Bahkan terdapat pula investor yang “lari” untuk mengembangkan bisnisnya di provinsi lain”.

Adapun penyebab amblesnya beberapa kawasan di Kota Semarang itu antara lain karena menjamurnya bangunan-bangunan, seperti hotel, mal, shoping center. Menurut Setyoko, penyebab lainnya adalah pengambilan air tanah yang tidak terkendali. Hal itu menyebabkan air yang ada di dalam tanah menjadi kosong.

Kendati demikian, pihaknya belum dapat mengukur berapa dalam tanah yang mengalami land settlement setiap tahunnya. Hal itu disebabkan perbedaan struktur tanah yang ada di setiap masing-masing kawasan.

Mengakhiri penjelasan, Bambang Setyoko menjelaskan ke awak media, termasuk pewarta maritim.com. Pungkasnya: “Yang pasti setiap tahunnya tanah di tempat-tempat tadi ada yang ambles,” katanya.  (Erick Arhadita)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *