JAKARTA, MARITIM.
Pelaksanaan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) diyakini dapat mewujudkan ketenangan dan kesejahteraan pekerja, serta meningkatkan produktivitas dan kemajuan perusahaan. PKB juga akan memperjelas dan mempertegas hak-hak & kewajiban pekerja dan pengusaha, serta memperkokoh hubungan industrial yang harmonis dan berkedadilan. Karena itu, perusahaan yang saat ini memiliki Peraturan Perusahaan (PP) perlu ditingkatkan menjadi PKB.
Keputusan ini merupakan salah satu rekomendasi dari diskusi sosial hubungan industrial tentang pembuatan PKB yang diselenggarakan Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial (PHI & Jamsos) Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) di Kawasan Industri Jababeka Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, pada 17/18 April 2018. Diskusi yang menampilkan dua narasumber dari trainers pembuatan PKB ini diikui 40 perusahaan yang mengirim 74 peserta dari perwakilan serikat pekerja dan manajemen.
Kawasan Industri Jababeka menjadi salah satu sasaran karena dari 1.600 perusahaan yang berada di kawasan ini baru sekitar 150 yang memiliki PKB. Sebagian besar lainnya masih memiliki Peraturan Perusahaan (PP) dalam mengatur hak-hak dan kewajiban pekerja maupun pengusaha.
Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI dan Jamsos) Kemnaker Haiyani Rumondang mengatakan, untuk tahun 2018 ini Kemnaker menargetkan 14.379 perusahaan memiliki PKB. Angka tersebut naik 550 dibanding perusahaan yang memiliki PKB pada 2017 sebanyak 13.829.
Pada 2015, sebanyak 13.210 perusahaan telah mendaftarkan PKB. Tahun 2016 bertambah 161 menjadi 13.371 perusahaan dan pada 2017 bertambah 458, sehingga total ada 13.829 perusahaan yang telah memiliki PKB dan didaftarkan di instansi yang menangani bidang ketenagakerjaan.
Untuk mencapai target tersebut, Kemnaker gencar melakukan sosialisasi PKB di sejumlah kawasan industri. “Kami telah melakukan kerja sama dengan kawasan industri untuk melakukan pembinaan, serta sosialisasi bagi perusahaan yang telah memiliki Serikat Pekerja/Serikat Buruh, namun belum memiliki PKB,” ujarnya.
Idealnya, setiap perusahaan harus memiliki PKB. Tapi prosesnya, tidak gampang, harus memenuhi syarat yang ditentukan. Antara lain, perusahaan harus berbadan hukum dan serikat pekerja/buruh (SP) harus terdaftar di instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Perumusan PKB harus dibahas dan disepakati bersama oleh manajemen perusahaan dengan SP.
Rumitnya, jika disatu perusahaan ada lebih dari 1 SP. Bila di perusahaan hanya ada 1 SP, kata Saepul Taviv selaku narasumber, SP harus mendapat dukungan minimal 50% dari seluruh pekerja. Jika ada lebih dari 1 SP, maka perundingan harus dilakukan tim gabungan SP secara proporsional berdasarkan jumlah anggotanya. Setiap tim harus mendapat mandat dari masing-masing SP-nya. Wakil manajamen yang ditunjjuk untuk berunding juga harus mendapat surat kuasa dari pimpinan perusahaan.
Isi PKB, lanjut Saepul yang juga Ketua Umum OPSI (Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia), antara lain memuat hak-hak dan kewajiban pekerja maupun perusahaan, serta syarat-syarat perlindungan dan kondisi kerja di perusahaan. Selain itu, adanya kepastian hukum dalam hubungan kerja dan mekanisme penyelesian perselisihan hubungan industrial. Di sisi lain, setiap pasalnya harus dirumuskan secara jelas dan tegas, jangan menimbulkan multi tafsir.
“Perundingan harus dilakukan secara musyawarah. Kedua pihak tidak boleh memaksakan kehendaknya, melakukan intimidasi atau tekanan lain melalui demo,” tegasnya.
Berlaku dua tahun
Sementara itu, narasumber Ahmad Astamar mengatakan, norma-norma pengaturan syarat kerja yang disepakati dalam PKB harus lebih baik dari yang ada dalam peraturan perundangan. “Syarat kerja yang diatur dalam undang-undang hanya standar minimal, sehingga rumusan dalam PKB perlu ditingkatkan,” ujarnya dalam dialog yang juga dihadiri Direktur Persyaratan Kerja Ditjen PHI & Jamsos Siti Junaedah.
Ia mengingatkan materi PKB yang sering bermasalah. Antara lain soal uang pisah jika terkena PHK, uang lembur, uang pensiun, skorsing, jam kerja dan surat peringatan. Tapi semuanya dapat diselesaikan di meja perundingan. Kalau perlu ada addendum untuk mengatasi jika terjadi masalah seperti itu.
Astamar juga menyebut adanya masalah dalam perundingan. Misalnya, perundingan yang berlarut-larut, pembahasan deadlock tanpa ada solusi, terjadi dualisme kepengurusan di tubuh SP, adanya protes dari pengurus SP yang tidak ikut berunding.
“Jika terjadi masalah seperti ini, harus diselesaikan secara musyawarah mufakat. Kedua pihak harus mendahulukan penyelesaian lewat bipartit dan mengedepankan win-win solution,” pintanya.
Taviv menambahkan, PKB yang ditandatangani kedua pihak harus disosialisasikan dan dipahami seluruh pekerja. Jika dalam pelaksanannya terjadi perselisihan industrial, mekanisme penyelesaiannya harus sesuai dengan isi PKB.
“Masa berlaku PKB paling lama dua tahun. Tapi bila baru setahun akan diubah lagi boleh saja, asalkan disepakati kedua belah pihak,” sambungnya.***Purwanto.