Jakarta, Maritim
GUNA membahas isu keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan maritim di selat Malaka yang dikenal sebagai jalur tersibuk di dunia, tiga negara pantai terkait, yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, dan Singapura kembali bertemu untuk membahas berbagai issue. Ketiganya berkumpul di Singapura dalam acara Co-Operation Forum (CF) ke-11, pada Senin (24/9/2018) lalu. Pertemuan itu bertepatan pula dengan peringatan 10 tahun mekanisme kerja sama keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan maritim di Selat Malaka dan Selat Singapura.
Selain delegasi tiga negara pantai, forum juga dihadiri negara-negara pengguna, seperti Jepang, Korea Selatan, Yunani, Nigeria, Selandia Baru, Vietnam, dan Denmark, serta organisasi internasional, seperti the International Association of Marine Aids to Navigation and Lighthouse Authorities (IALA), Malacca Strait Council (MSC), dan the European Maritime Safety Agency (EMSA).
Agus H. Purnomo Dirjen Perhubungan Laut RI mengatakan sudah banyak proyek yang dilaksanakan sejak pembentukan mekanisme kerja sama pada 2007. Indonesia sendiri memperkenalkan beberapa inisiatif untuk membuat kedua selat lebih aman dan bersih, seperti pemeliharaan dan penggantian sarana bantu navigasi pelayaran (SBNP) serta studi tentang cetak biru keselamatan navigasi dan perlindungan lingkungan maritim. Jelasnya lewat siaran pers: “Pelaksanaan proyek menunjukkan negara-negara pantai dapat bekerja sama dengan negara-negara pengguna dan pemangku kepentingan untuk meningkatkan keselamatan navigasi dan perlindungan lingkungan laut”.
Di sela-sela agenda forum, ketiga pimpinan administrator maritim negara pantai juga telah sepakat untuk melihat kembali posisi terakhir proyek Marine Environment Highway (MEH) yang dibahas sejak 2014. Indonesia berperan penting dalam proyek itu mengingat pusat data MEH ditempatkan di Batam. Karenanya Indonesia harus turut serta memelihara dan mendukung peningkatan ke fase pembahasan berikutnya.
Menurut Agus, implementasi MEH sebagai embrio E-Navigasi yang diikuti perbaikan berkelanjutan atas fasilitas di masing-masing daerah negara pantai dan inisiatif lainnya terkait perlindungan lingkungan laut, menunjukkan negara pantai bekerja bersama untuk memastikan pelayaran yang aman bagi kapal. Isu tentang respons polusi dan kesiapsiagaan, pendekatan praktis, gas rumah kaca (GRK), dan pelayaran berkelanjutan juga ikut menjadi perhatian Indonesia.
Dirjenla Kemenhub juga minta agar semua negara pengguna dan pemangku kepentingan tetap dapat memberi dukungan terhadap mekanisme kerja sama dan proyek-proyeknya. Dukungan konkret akan memperkuat putusan yang diambil negara-negara pantai dan kian menegaskan perlunya kerja sama internasional dalam memastikan keselamatan, keamanan, dan perlindungan lingkungan di Selat Malaka dan Selat Singapura.
“Semua isu bersama di Selat Malaka dan Selat Singapura, termasuk isu terkini, kiranya dapat diselesaikan melalui penguatan koordinasi dan kerja sama, termasuk pada saat pelaksanaan proyek-proyek yang telah diinisiasi” tutur Agus.
Indonesia juga memiliki kepentingan khusus terhadap isu jasa pemanduan sukarela di Selat Malaka dan Selat Singapura. Pemerintah mendorong pembentukan ‘pemanduan luar biasa’ yang akan diusahakan operator-operator dari Indonesia, Malaysia, dan Singapura, dengan menyelesaikan Draft SN Circular untuk disampaikan pada Organisasi Maritim Internasional (IMO). Sejak Maret 2017, melalui PT Pelindo I (Persero) Indonesia telah memberi jasa pemanduan kepada kapal-kapal yang melintasi Selat Malaka .***MRT/2701