JAKARTA-MARITIM : Gerakan Masyarakat Awasi Kartel (Germak) menyatakan sampai hari ini masih ada industri yang belum menyalurkan minyak goreng curah (MGC) subsidi. Untuk itu, pemerintah harus segera memberikan teguran keras dan sanksi tegas, karena kewajiban itu dibutuhkan masyarakat untuk mengurangi beban atas kenaikan harga CPO dan minyak goreng.
“Hasil temuan kami di beberapa daerah, yang memperkuat laporan Kemenperin, seperti itu. Pemerintah harus segera memberi teguran keras dan sanksi tegas terhadap industri MGC subsidi yang belum berproduksi dan lamban memenuhi kuota. Jika perlu nama-namanya diumumkan ke publik,” kata Pengamat Politik sekaligus Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima), Ray Rangkuti, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jeirry Sumampow, Direktur Nara Integrita, Ibrahim Fahmy Badoh, Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center, Roy Salam dan Anggota Koalisi Pemantau di 9 Provinsi, yang tergabung dalam koalisi Germak, kepada wartawan secara virtual, Minggu (10/4).
Koalisi Masyarakat Sipil ini mengajak masyarakat luas untuk ikut serta dalam pengawasan bersama dan memantau potensi penyelewengan lewat modus repacking atau permainan harga ke konsumen.
Direktur Nara Integrita, Ibrahim Fahmy Badoh, mengatakan dari hasil pengawasan Minggu I, pada 2-9 April 2022, ditemukan ada peningkatan perusahaan produsen MGC subsidi yang terlibat. Yakni dari 72 menjadi 75 industri yang kontrak dengan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Artinya, ada peningkatan 3 industri MGC.
Selama periode pemantauan Germak itu, Permenperin No 8 tahun 2022 menyatakan ke 75 industri MGC wajib memproduksi dan mendistribusikan MGS curah bersubsidi kepada masyarakat, usaha mikro dan usaha kecil.
“Kemenperin telah menyebutkan hingga 8 April 2022 tercatat baru 55 dari total 75 industri MGS yang kontrak dan berproduksi (73,3%). Dari 55 industri itu sebagian saja yang mencapai target sesuai ketentuan kontrak,” ungkap Fahmy.
Sementara Roy Salam, dari hasil pemantauan Germak di beberapa daerah terdapat 11 industri belum menyalurkan sama sekali MGC subsidi. Pabrik itu, PT EUP (Pontianak), PT MNOI (Bekasi), PT DO & F (Kota Bekasi), PT AGR (Kota Bitung), PT PNP (Jakarta Timur), PT IMT (Dumai), PT BKP (Gresik), PT PPI (Deli Serdang), PT PSCOI (Bekasi), dan PT IBP (Dumai).
Ray Rangkuti menegaskan, fakta ini menunjukkan betapa masih rendahnya komitmen dan kepatuhan sebagian industri MGS pada kontrak dan ketentuan yang ada. Padahal, para industri MGS itu kontrak dengan pemerintah dan wajib memproduksi dan mendistribusikan sesuai HET.
Di sisi lain, ini bukti kelambanan dan ketidakpedulian industri MGS terhadap dampak yang timbul di masyarakat. Yakni, menyebabkan kelangkaan dan kenaikan harga MGS serta memicu permainan di tingkat penjual ke konsumen.
“Tim pemantau melihat, di beberapa pasar di Jabodetabek ada potensi permainan pedagang pasar dalam menjual MGC subsidi dalam bentuk repacking per liter tapi dijual dengan harga per kg,” ujar Ray.
Apalagi, sambung Roy, konsumen sulit membedakan MGC subsidi dengan MGC non subsidi. Sehingga permainan pedagang ini tidak terasa oleh masyarakat tapi tetap merugikan konsumen di sisi lain. (Muhammad Raya)