Volume Impor Minyak Sawit China Naik 7%

JAKARTA – MARITIM : Volume impor minyak sawit China meningkat 7% selama periode Agustus 2018-Juli 2019. Volume yang diimpor China pada Agustus 2018 hanya 415 ribu ton dan terus meningkat jadi 638 ribu ton pada Juli 2019. Bahkan, volume impor terbesar terjadi pada Januari 2019 yakni 694 ribu ton.

Tim Riset PASPI (Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute) menyatakan, peningkatan permintaan minyak sawit selain untuk mensubstitusi minyak kedelai, tapi juga diperkirakan turut mensubstitusi lemak babi (lard) yang dikonsumsi oleh industri maupun konsumen di China.

Menurut data Indexbox, konsumsi lard China hampir sebesar 2,4 juta ton atau 40% dari total konsumsi global. Populasi babi yang menurun karena wabah ASF dan tindakan penyembelihan oleh pemerintah China menyebabkan produksi lard juga mengalami penurunan.

Dalam struktur konsumsi minyak nabati China, minyak kedelai merupakan minyak nabati utama, dengan pangsa mencapai 44%. Penurunan produksi minyak kedelai akan berdampak naiknya konsumsi minyak sawit sebagai produk substitusinya.

Peningkatan permintaan minyak sawit digunakan oleh industri makanan seperti mie instant, snack dan fast-food dimana peningkatan tersebut dipengaruhi karena harga minyak sawit yang lebih kompetitif.

Hampir satu tahun industri peternakan babi di China menghadapi serangan ASF atau yang dikenal juga dengan Flu Babi Afrika. ASF merupakan sejenis virus yang menular dan hingga saat ini belum ditemukan vaksin atau obat untuk mengatasi wabah virus tersebut.

Meskipun wabah virus ASF sangat mematikan bagi babi, namun virus ini tidak berbahaya bagi manusia. Virus ASF ini pertama kali muncul di Provinsi Lianong dan dua belas bulan kemudian menjangkiti hampir 32 provinsi dan wilayah di China. Bahkan, wabah tersebut juga telah menjangkiti peternakan babi di Mongolia dan Irkutsky.

Menurut data kementerian tersebut, ASF menyebabkan populasi babi di China mengalami penurunan dari 428 juta menjadi 375 juta per April 2019. Laporan terakhir MARA menyatakan bahwa inventories babi dewasa (hog) mengalami penurunan mencapai lebih dari 30 persen selama periode Juli 2018-Juli 2019.

Secara teori ekonomi, kedelai merupakan derived demand dari pakan babi, yakni bungkil kedelai. Sehingga apabila terjadi penurunan permintaan pakan babi maka akan menurunkan permintaan kedelai sebagai bahan baku.

Sebagian besar permintaan kedelai yang menurun adalah yang bersumber dari impor. Impor yang turun di China juga tidak hanya disebabkan mewabahnya ASF namun juga dipengaruhi oleh trade tension antara USA dan China. Data histroris menunjukkan impor kedelai pada 2019-2020 merupakan yang terendah selama lima tahun terakhir.

Impor kedelai di China relatif berfluktuasi, namun trennya menunjukkan penurunan. Pada Agustus 2018 sebesar 9,15 juta ton dan menurun hingga terendah pada Februari 2019 yakni 4,46 juta ton.

Impor kedelai juga masih mengalami peningkatan yakni sebesar 7,64 juta ton pada April 2019 dan kembali meningkat jadi 8,64 juta ton pada Juli 2019. Hal ini karena peningkatan permintaan bungkil kedelai yang juga dimanfaatkan sebagai pakan ternak ayam dan sapi yang saat ini produksi kedua ternak tersebut terus di dorong pemerintah sebagai upaya menyediakan substitusi protein daging babi bagi masyarakat China.

Penurunan impor kedelai juga berdampak pada ketersediaan kedelai di China yang juga menurun sehingga mempengaruhi aktivitas pada industri crushing domestik yang memproduksi minyak kedelai.

Penurunan produksi minyak kedelai China dari 16,1 juta ton (2017-2018) jadi 15,2 juta ton (2018-2019) dan diperkirakan hanya sebesar 14,4 juta ton (2019-2020). Untuk memenuhi kebutuhan industri khususnya makanan dan minuman di China, maka negara ini juga meningkatkan impor minyak kedelai dari 481 ribu ton jadi 750 ribu ton dan diperkirakan terus meningkat jadi 1.7 juta ton pada periode sama.

Harga minyak kedelai impor  yang lebih tinggi menyebabkan industri makanan China mencari alternatif substitusi minyak nabati lainnya dengan cost competitiveness and effectiveness. Salah satu minyak nabati alternatif untuk mensubstitusi minyak kedelai yang dipilih oleh industri makanan China adalah minyak sawit. (Jum)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *