JAKARTA – MARITIM : Uni Eropa merupakan negara emitter utama yang berkontribusi terhadap emisi GHG dunia (Olivier et al., 2017). Karena itu, negara ini cukup concern terhadap upaya penurunan GHG. Salah satu accelarated action sebagai bentuk komitmen negara EU-28 yakni melaksanakan Paris Agreement adalah dengan kebijakan RED yang berlaku di kawasan negara tersebut.
Kebijakan RED ditujukan untuk mengurangi konsumsi energi fosil serta melakukan pencampuran dengan biodiesel yang dinilai lebih hemat emisi. Target penggunaan renewable energi pada RED I (2010-2020) sebesar 20% khususnya pada sektor transportasi dan meningkat jadi 32% pada RED II (2020-2030).
Tim Riset PASPI (Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute) menyatakan, untuk mencapai visi tersebut, pemerintah UE-28 pada awalnya menerapkan kebijakan pembebasan pajak sebagai bentuk insentif dan kompensasi. Namun, instrumen tersebut berdampak pada kerugian negara karena penerimaan pajak menurun.
Karena itu, untuk tetap mendukung industri biodiesel UE-28 maka pemerintah mengganti instrumen kompensasi jadi kebijakan mandatori. Instrumen kebijakan ini terbukti dapat meningkatkan produksi biodiesel UE dari 11.48 juta kiloliter (2011) jadi 13.73 juta kiloliter (2018). Bahkan kapasitas produksi meningkat hampir empat kali lipat sejak 2006 yakni jadi 21 juta kiloliter pada 2018.
Berbeda dengan industri biodiesel global, bahan baku utama digunakan EU-28 adalah minyak rapeseed dengan pangsa mencapai 47%. Penggunaan minyak rapeseed sebagai bahan baku utama biodiesel di UE-28, karena minyak rapeseed merupakan minyak nabati yang paling banyak diproduksi oleh UE-28 dengan pangsa sebesar 54%.
Selain minyak rapeseed, industri biodiesel UE-28 juga menggunakan bahan baku lain seperti minyak sawit 28%, minyak jelantah/UCO 16%, minyak kedelai 5% dan tallow 4%.
Meskipun minyak rapeseed merupakan bahan baku utama biodiesel EU-28 (2011-2018), namun pemakaian mengalami penurunan dari 6.28 juta ton jadi 5.9 juta ton. Sebaliknya penggunaan minyak sawit, minyak kedelai dan minyak jelantah justru meningkat. Penggunaan minyak sawit meningkat dari 3.36 juta ton jadi 3.89 juta ton, minyak kedelai juga meningkat dari 0.44 juta ton jadi 0.75 juta ton dan minyak jelantah meningkat dari 1.71 juta ton jadi 2.27 juta ton.
Penggunaan minyak rapeseed yang mengalami penurunan dan penggunaan minyak sawit yang meningkat dalam bahan baku biodiesel EU-28, tampaknya memicu persaingan bahan baku biodiesel di EU-28.
Perubahan pangsa penggunaan tersebut menimbulkan kekhawatiran bagi EU-28 sehingga seringkali kekhawatiran tersebut diimplementasikan jadi sebuah kebijakan yang menghambat perdagangan minyak sawit di pasar EU. Salah satu kebijakan EU-28 yang berlaku saat ini terkait penggunaan minyak sawit dalam industri biodiesel adalah RED II ILUC.
Dalam draf kebijakan tersebut, minyak sawit dianggap sebagai high risk ILUC yang menyebabkan konversi tidak langsung lahan hutan (berkontribusi terhadap emisi dan hilangnya biodiversitas) jadi lahan bahan baku biofuel ini dianggap sebagai ‘dosa’ tanaman biofuel.
Berdasarkan hal tersebut, argumen EU-28 yang menyudutkan biodiesel sawit berdampak buruk terhadap lingkungan. Padahal kajian ilmiah dari European Commision Joint Research, mengungkapkan kelebihan dari biodiesel sawit mampu menghemat emisi lebih besar 62% dibanding biodiesel rapeseed, biodiesel kedelai dan biodiesel bunga matahari. Selain itu Laborde et al (2014) menyebut penghematan emisi oleh biodiesel sawit berkisar 40%.
Bahkan, menurut studi IFPRI, emisi ILUC minyak sawit adalah paling rendah dibanding emisi ILUC minyak rapeseed, minyak kedelai dan minyak bunga matahari. Biodiesel sawit juga mampu menghemat/mengurangi emisi terlebih jika perdagangan bahan baku biodiesel EU berubah dari regim protektif jadi regim free trade dengan negara-negara eksportir bahan baku biodiesel dunia.
Hal menarik adalah keterkaitannya dengan harga crude oil dunia. Harga minyak nabati dunia berhubungan erat dengan harga crude oil dunia. Hal ini terjadi karena dalam konteks biodiesel, minyak nabati merupakan produk subsitusi dari crude oil.
Selain itu crude oil juga merupakan input dari proses produksi minyak nabati dunia khususnya di negara-negara maju yang mekanisasinya intensif. Penurunan harga crude oil berarti menurunkan harga produksi minyak nabati.
Dengan demikian, kehadiran minyak sawit di pasar EU-28 justru memberikan solusi atas potensi masalah trade-off food fuel. Peningkatan penggunaan minyak sawit dalam biodiesel EU-28 tidak disertai dengan peningkatan harga CPO dunia. Sehingga tidak mengorbankan tujuan penggunaan CPO untuk bahan pangan (edible uses). (Jum)