JAKARTA – MARITIM : Tahun ini, kinerja manufaktur di Indonesia menunjukkan angka yang positif dan memberikan kontribusi terbesar untuk Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, dengan pencapaian 19, 52% pada kuartal II/2019. Sementara kegiatan manufaktur tanpa manajemen yang tepat dapat memberikan dampak negatif bagi lingkungan.
“Indonesia saat ini sedang menghadapi ancaman degradasi ekosistem sungai yang disebabkan oleh sistem pengelolaan air limbah yang buruk. Banyak pelaku industri dan pemangku kepentingan terkait membutuhkan pedoman tentang bagaimana menginterpretasikan kerangka peraturan pengelolaan limbah yang ada. Sehingga dapat diimplementasikan dengan baik,” kata Kepala Pusat Industri Hijau (Kapus IH) BPPI Kemenperin, Teddy C Sianturi, saat memberi sambitan pada kesempatan Japan-EU Workshop on Marine Plastic Litter, di Tokyo, Jepang, baru-baru ini.
Menurutnya, kurangnya pemahaman dan implementasi teknologi pengolahan limbah di Indonesia menjadi tantangan pemerintah. Karena itu, penting dilakukan sosialisasi dan bantuan khusus untuk IKM tentang pengembangan dan penerapan teknologi pengolahan limbah terutama teknologi yang sesuai dengan karakteristik Indonesia.
Indonesia memiliki komitmen untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, khususnya pencapaian pada air bersih dan sanitasi (SDGs No 6), industri, inovasi dan infrastruktur (SDGs No 9) dan Produksi dan Konsumsi yang Bertanggung Jawab (SDGs No 12).
Di samping itu, Indonesia juga memiliki UU No 3 tahun 2014 tentang Perindustrian, di mana salah satu tujuan industrialisasi adalah menciptakan industri yang mandiri, kompetitif dan ramah lingkungan.
Sektor industri didorong untuk menerapkan kebijakan pengembangan industri hijau melalui pengurangan penggunaan (reduce), penggunaan kembali (reuse) daur ulang (recycle) serta pemulihan (recovery) atau 4R.
“Lebih spesifik, kami juga memiliki Peraturan Presiden No 83 tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut. Kebijakan kami mencegah sampah plastik laut mencakup beberapa aspek,” ujar Teddy.
Seperti efisiensi bahan baku, meningkatkan penggunaan bahan baku domestik untuk daur ulang limbah, mendorong produksi barang-barang yang dapat digunakan kembali, dapat di daur ulang dan dapat terbiodegradasi. Persiapan wajib Standar Nasional Indonesia tentang plastik biodegradable dan dapat di daur ulang, mendorong pertumbuhan industri daur ulang, mendukung limbah sebagai energi alternatif, insentif dan kerja sama antar pemangku kepentingan.
“Kerja sama antara pemerintah, akademisi, masyarakat dan industri dikembangkan dalam hal penerapan industri hijau, circular economy, inovasi pengemasan, standar kemasan barang plastik dan pengelolaan barang serta kemasan plastik bekas perlu dilakukan,” ungkapnya.
Selain itu, pemerintah juga mendukung implementasi efisiensi sumber daya di Indonesia, sebagai salah satu strategi pencegahan untuk sampah plastik laut. Efisiensi sumber daya dapat membantu mengurangi penggunaan bahan baku dan menghasilkan limbah serta pada akhirnya dapat mengurangi biaya produksi dan pembuangan limbah.
Teddy berharap, dari pertemuan ini dapat membangun semacam kolaborasi di antara anggota atau peserta, untuk mencegah limbah berakhir ke lautan. Khususnya untuk menyediakan program internasional tentang circular economy dengan program dasar pengelolaan limbah industri dari hulu ke hilir sungai.
“Semoga pemerintah Jepang dan UE dapat merumuskan strategi dan arahan untuk Kebijakan Ekonomi Sirkular di Kawasan Asia Pasifik,” pinta Teddy. (Muhammad Raya)