SIDOARJO-MARITIM : Balai Pemberdayaan Industri Persepatuan Indonesia (BPIPI), satuan kerja (satker) di bawah binaan Direktorat Jenderal Industri Kecil, Menengah dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian (Kemenperin), terus mendorong pengembangan industri kecil dan menengah (IKM) produsen alas kaki. Sehingga bisa meningkatkan daya saing. Apalagi, sebagai negara pusat produksi alas kaki terbesar ke 4 dunia, Indonesia memiliki potensi besar menjadi produsen sepatu lokal yang kompetitif di kancah global, dengan kualitas yang setara dengan merek-merek ternama dunia.
“Untuk mencapai kualitas, maka kami melakukan penguatan 6 kompetensi bagi IKM alas kaki itu, yakni segi manajemen, pembuatan desain dan pola master secara manual, menjahit, pembuatan upper, pelaksanaan assembling dan teknis pengelolaan produksi. Penguatan-penguatan seperti itu akan terus kami lakukan agar IKM alas kaki kita bisa meningkat daya saingnya,” kata Kepala BPIPI Kemenperin, Edi Suhendra, saat berbincang-bincang dengan wartawan di kantornya, di bilangan Sidoarjo, Jawa Timur, kemarin.
Menurut Edi, pihaknya akan terus melakukan penguatan kompetensi tersebut, termasuk dengan berbagai pendampingan. Sehingga dapat dicapai suatu standardisasi bagi IKM alas kaki di Indonesia, dengan mengadopsi SNI dan ISO, agar daya saing IKM menjadi lebih baik lagi. Kemudian menghasilkan produk yang berkualitas dan aman bagi pengguna.
Sebagai fasilitator industri alas kaki nasional, sambungnya, BPIPI juga memiliki peran untuk menguatkan kembali beragam komunitas industri alas kaki di Indonesia dalam wadah Indonesia Footwear Network (IFN). Wadah ini akan didorong untuk melengkapi dan mengumpulkan informasi industri yang selama ini ada di masing-masing komunitas. Di samping itu, BPIPI juga akan terus mendorong program kemitraan di industri alas kaki agar ekosistem industri khususnya IKM alas kaki mampu lebih mandiri, menghasilkan kualitas produk lebih baik dan berpotensi global.
“Sebagai salah satu manufaktur alas kaki terbesar global, Indonesia perlu mengambil inisiatif untuk mengintegrasikan informasi dari produsen, supplier, sumber material, merek lokal, dan organisasi yang bergerak di sektor industri alas kaki. Karena itu, IFN hadir sebagai penyedia informasi yang relevan bagi pasar potensial industri alas kaki dari hulu ke hilir, baik domestik dan global,” urai Edi.
Namun begitu, BPIPI saat ini tengah dihadapkan pada suatu tantangan yang cukup serius, yakni soal regenerasi. Di mana anak-anak dari para pemilik alas kaki yang ada di Sidoarjo dan Magetan tidak mau meneruskan usaha dari orang-tuanya. Sehingga timbul kesenjangan yang cukup lebar dan perlu dicarikan jalan keluarnya.
“Terkait itu, kami bersama seluruh jajaran di BPIPI terus melakukan berbagai upaya dan tidak akan membiarkan industri ini terhenti, hanya karena tidak ada yang meneruskan. Sebab salah satu tugas BPIPI, adalah meningkatkan SDM industri alas kaki, meningkatkan pengetahuan dan teknologi produk alas kaki serta melakukan standardisasi produk alas kaki nasional,” ungkapnya.
Untuk mengatasi hal tersebut, BPIPI melakukan berbagai kegiatan yang diikuti oleh para generasi muda, agar mempunyai ketertarikan dan kemauan serta berminat untuk melanjutkan usaha dari orang-tuanya. Bentuk kegiatan itu dibungkus dalam gelaran Indonesia Footwear Creative Competition (IFCC), kompetisi kreatif berskala nasional dalam bidang industri alas kaki, yang dilakukan setiap tahun. Pada IFCC ini terdapat berbagai macam kompetisi di dalamnya, seperti photography, videography dan footwear design (3 in1).
Melalui IFCC 3 in 1 ini, BPIPI ingin mengenalkan lebih dekat tentang alas kaki pada generasi muda, bahwa alas kaki itu adalah bagian dari mode. Bagian dari perkembangan industri dan yang terpenting bisa menjadi bagian dari rencana bisnis yang menjanjikan ke depannya. Sehingga akan tumbuh pelaku industri kreatif di sektor alas kaki.
“BPIPI terus berupaya memberikan ruang kreatif yang lebih luas pada generasi muda, sehingga bisa memperkuat branding sebagai salah satu benchmark creative event dalam bidang alas kaki di Indonesia, yang sudah memiliki jaringan internasional pada Internasional Footwear Design Competition,” ujar Edi.
Inkubator bisnis
Pada kesempatan meninjau salah satu inkubator bisnis binaan BPIPI, Lia Nirawati, melakukan gerakan memperpanjang lifetime celana jeans menjadi produk sepatu, tas dan produk lainnya. Dengan konsep upcyle, Upject menularkan ide untuk mengubah ulang limbah fesyen menjadi produk baru yang bernilai tinggi. Caranya, adalah dengan memilah dan memilih bahan baku (re-finding), membersihkan bahan baku (re-fining) dan mengubah menjadi bentuk baru (re-shaping).
Kegiatan start-up yang dilakukan bersama 4 orang rekannya itu bermodalkan awal Rp40 juta. Berusaha dari bilangan Mojokerto, hampir dipastikan wanita pecinta lingkungan ini, tidak akan rela jika limbah yang ada di lingkungannya hanya dibiarkan tidak terpakai begitu saja. Lantas terpikir untuk mendaur ulang limbah jeans menjadi sepasang sepatu dan tas tangan kemudian berdirilah satu usaha di bidang baru yang digelutinya ini.
“Kami mengumpulkan limbah jeans yang tidak terpakai, karena sudah sobek atau usang, lalu didesain ulang menjadi sepatu atau tas tangan. Awalnya memang coba-coba, tapi setelah digeluti jadi serius juga, yang akhirnya jadilah suatu produk sepatu dan tas,” katanya saat ditemui wartawan di kantornya, di daerah Mojokerto, Jawa Timur.
Lewat kerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup Mojokerto, limbah jeans tersebut terkumpul banyak, tapi saat ini penerimaan bahan baku tersebut dibatasi. Mengingat kapasitas produksi dan limbah jeans masih sangat terbatas, yakni satu bulan baru 8 kodi, sehingga penerimaan limbah celana jeans perlu dibatasi.
“Saat ini penerimaan limbah jeans masih dibatasi, karena produksi kami belum banyak, di mana hingga kini telah diproduksi sebanyak 40 kodi,” cerita Lia.
Disebutkan, usahanya dimulai sejak Desember 2021 lalu, di mana untuk 1 celana jeans dihargai Rp10.000. Penjualan dilakukan secara online dan untuk memperkenalkan produknya, mereka kerap mengikuti pameran di berbagai daerah.
“Ini adalah salah satu bentuk pendampingan BPIPI untuk para start-up baru yang akan memulai usahanya,” ucap salah seorang pegawai BPIPI, yang berada di lokasi.
Tanggulangin Kembali Pulih dan Layani Ekspor
Sementara itu salah satu pengrajin sekaligus penjual berbagai kerajinan kulit yang diolah menjadi tas, dompet dan aksesoris mengaku, usahanya mulai menggeliat kembali.
“Selama beberapa bulan ini omzet penjualan mulai naik. Apalagi sebelumnya, usaha saya terkena dampak pandemi, penjualan turun drastis dan modal hampir habis,” kata Makhbub Junaedi.
Seorang usaha ekonomi kreatif ‘Morfby’, kerajinan ukir kulit tas dan dompet yang berlokasi di Desa Wates, Kedensari, Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur.
Menurutnya, saat ini buyers dari Italia, Turki dan Jepang, banyak memesan tas kulit ukiran yang dikerjakannya. Apalagi sebelum pandemi, tas ukiran miliknya sudah cukup dikenal di beberapa negara tujuan ekspor seperti Netherland, Belgia dan Eropa.
“Namun saya sekarang perlu menjaga produk asal China, yang mulai masuk sebagai pesaing utama Indonesia, kendatipun mutu yang ditawarkan mereka sebenarnya masih jauh di bawah Indonesia,” ujarnya.
Ditambahkan, China memang sangat pintar menjiplak, baik meniru model maupun pewarnaan. “Mereka sangat ahli. Tapi kita tidak perlu kuatir, karena akhirnya konsumen yang akan memilih pilihannya, yakni membeli produk yang memiliki kualitas tinggi.”
Karena, sambung Makhbub, lifetime produk China itu tidak lama. “Sekitar 3-4 bulan sudah hancur. Sementara produk kita dari Tanggulangin tidak akan rusak. Sampai pemiliknya merasa bosan.”
Makhbub mengaku, dirinya mulai mengukir tas saat pagi hari, ketika orang lain belum terbangun dari tidurnya. Pasalnya, untuk mengukir tas berkualitas itu memerlukan suasana yang tenang, nyaman dan tidak diganggu oleh kegiatan sehari-hari di pagi hari. Apalagi, dalam membuat tas tersebut, dirinya harus menyesuaikan dengan selera pengukirnya.
Menjawab soal produk China yang masuk ke Tanggulangin, Makhbub menegaskan, hendaknya pemerintah memberikan perlindungan dan proteksi pada pelaku industri kecil. Terutama dalam hal regulasi.
“Pemerintah perlu berpihak dan membela industri kecil. Kami jangan hanya dijadikan obyek dari kepentingan kelompok tertentu. Yang kami lihat, kebijakan pemerintah pada industri kecil belum memihak,” ucapnya. (Muhammad Raya)