JAKARTA-MARITIM : Indonesia pada 2030 akan mengalami puncak bonus demografi, dimana pada 2045 akan mengantarkan Indonesia menjadi Indonesia Emas, sesuai cita-cita Bangsa. Namun untuk mencapai itu, dari sektor kemaritiman masih diperlukan banyak pembenahan dan harmonisasi regulasi. Termasuk juga soal pengawasan dan keberpihakkan pada nelayan.
“Pada sektor kemaritiman masih banyak regulasi yang tumpang tindih. Sehingga menimbulkan kebingungan pada saat dioperasionalkan di lapangan,” kata Sekjen Forum Komunikasi Maritim, Capt Marcellus Hakeng Jayawibawa, saat jadi salah satu pembicara pada webinar Reaction Maritim Series I bertema “Kedaulatan Maritim untuk Kesejahteraan Rakyat : Mengawal Implementasi Kebijakan Kemaritiman Indonesia”, di Jakarta, belum lama ini.
Menurutnya, luasnya wilayah NKRI menyebabkan kurangnya pengawasan, karenanya apa yang menjadi pemikiran saya di banyak kesempatan terkait Hankamrata sesuai amanah pasal 30 ayat 2 UUD 1945, yang melibatkan pelaut dan nelayan Indonesia di seluruh dunia, patut segera dilaksanakan.
“Saya bersyukur ide saya ini sudah mulai diterima pemerintah. Karena dalam pengamatan saya sudah menjadi perhatian Menhan dan Kasal,” ujarnya.
Pengawasan ini menjadi semakin berat, ketika tidak terkonsentrasi, tapi banyak pihak/fungsi yang diberikan otoritas. Sehingga alih-alih saling bersinergi, malah banyak muncul duplikasi baik kebijakan maupun peralatan di daerah yang padat penduduk serta minim pengawasan serta aturan yang kurang bisa diaplikasikan di daerah 3T. Hal tersebut mengakibatkan gemuknya beban anggaran yang tidak berdampak langsung kepada penyelesaian masalah.
Dicontohkan, adalah terobosan kebijakan terkait tol laut, yang sebetulnya jika berjalan efektif memiliki dampak yang luar biasa. Akan tetapi dikarenakan ujung tombaknya hanya sebatas dirjen, dalam hal ini Perhubungan Laut. Sedangkan kementerian lain yang harusnya memberikan supportnya malah terkesan tidak peduli.
“Patut saya duga telah menyebabkan program ini seperti jalan ditempat. Karenanya kehadiran kementerian yang fokus mengelola maritim jelas sebuah kebutuhan bagi bangsa ini,” ucap pengamat maritim itu.
Sementara terkait nasib nelayan di luar negeri, Hakeng menilai, banyak pihak yang mendorong dan cenderung menyalahkan Kementerian Luar Negeri dalam beberapa kasus yang menimpa rekan-rekan nelayan dalam problematiknya di luar negeri.
“Dalam pandangan saya, kita sepatutnya tidak dapat membebankan tanggung jawab hal ini sepenuhnya kepada Kementerian Luar Negeri, karena sebetulnya ada badan yang bisa dimaksimalkan perannya terkait hal ini,” ucap Pengurus dan Pendiri DPP Ahli Keselamatan dan Keamanan Maritim Indonesia (AKKMI).
Dia mendorong Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) dibawah kepemimpinan Benny Ramdhani untuk bisa berperan aktif dalam hal ini.
Karena memang nelayan-nelayan Indonesia di luar negeri membutuhkan kehadiran BP2MI. Contohnya, kasus nasib 7 nelayan WNI yang di atas kapal Taiwan yang kebetulan sandar di Pelabuhan Mauritius masih tidak jelas keberadaannya. Padahal, itu sudah berjalan 7 bulan.
Sedangkan dalam kunjungan ke BP2MI, Hakeng melihat instansi ini memiliki alat yang bisa memantau pekerja migran Indonesia di seluruh dunia secara langsung, dimana diharapkan jika ada situasi yang penting terjadi bisa dipersingkat waktu yang dibutuhkan BP2MI untuk merespon situasi tersebut.
Pasalnya, melalui alat ini bisa direspon, tapi sayangnya memang belum termasuk nelayan di dalamnya. Mudah-mudahan dalam waktu dekat mereka bisa merangkul teman-teman nelayan.
Terkait Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI), sambungnya, pola Penangkapan Ikan Terukur yang sedang dikembangkan oleh KKP saat ini justru sedikit keluar dari semangat tersebut. Karena, dari 11 WPPNRI yang diperuntukan untuk Zona Nelayan Lokal atau kecil ini hanya 3 area (padahal 90%) sedang 8 area lainnya diperuntukkan bagi industri/masuk zona industri.
Hal tersebut setidaknya menggambarkan ketimpangan yang bisa menimbulkan konflik ke depannya Ketika kehidupan masyarakat semakin membaik dan para nelayan sudah semakin mampu mencari ikan lewat teknologi yang dimiliki.
SPBUN dan PNBP
“Saya sependapat bahwa program Kementerian BUMN dan Kemen Koperasi menggandeng Pertamina Patra Niaga dan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) untuk sosialisasi solar bagi nelayan Indonesia yang disalurkan melalui koperasi-koperasi nelayan,” katanya.
Program-program seperti ini harus dikembangkan, karena memang bersentuhan langsung dengan nelayan, dimana selama ini jauhnya letak SPBUN mengakibatkan nelayan harus membeli solar 20-30% lebih tinggi dari harga yang ada di SPBU.
Dengan semakin mendekatkan titik-titik SPBUN ke kantong-kantong nelayan, akan semakin memudahkan nelayan mendapatkan bahan bakar, tanpa perlu antre di SPBU. Nelayan perlu mengetahui dan mengenal peran penting stakeholdernya seperti Pertamina Patra Niaga ini. Saat ini memang masih 6 titik, tapi kedepan diharapkan bisa lebih diperbanyak lagi.
“Ketersediaan dan harga solar yang melambung, sebetulnya tidaklah juga menjadi kendala utama para nelayan untuk tidak melaut, tapi ada faktor lain. Yakni penerapan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 85/2021 yang ditenggarai menjadi biang keladinya,” ungkap Hakeng.
Ditambahkan, peraturan tersebut memberatkan nelayan, karena ketentuan naiknya besaran tarif PNBP pada nelayan menjadi sekitar 5-10% dirasa sangat memberatkan. Padahal, aturan sebelumnya, yakni PP No 62/2002, mengatur kategori kapal kurang dari 60 GT hanya dikenakan tarif 1%.
Kemudian di PP No 75/2015 naik menjadi 5%, dengan kategori kapal kecil 30-60 GT, lalu di aturan terbaru PP No 85/2021, ketentuan ini justru diperluas menjadi kapal dengan ukuran 5-60 GT dikenakan tarif 5% untuk PNBP. (Muhammad Raya)