PEMKOT Mataram Lombok, NTB, mengatakan rencana pembangunan pelabuhan lama untuk kegiatan pariwisata di kawasan Pantai Ampenan tetap berproses. H. Mohan Roliskana Wakil Walikota Mataram mengungkapkan: “Meskipun kami sedang merevitalisasi Pantai Ampenan, namun rencana pembangunan pelabuhan pariwisata oleh investor tetap jalan. Pemkot tetap membuka peluang pengembangan pantai bekas Pelabuhan Ampenan menjadi taman wisata seperti direncanakan investor dari Bali. Informasi terakhir, investor itu sedang melakukan persiapan berbagai proses administrasi yang cukup rumit”.
Menurut Wawali, rencana calon investor membangun kawasan pariwisata di bekas pelabuhan Ampenan, dinilai cukup serius. Nantinya pelabuhan wisata itu akan dilengkapi dermaga dengan kapal pariwisata. Fihak investor sudah berkoordinasi dan siapkan berbagai syarat administrasi termasuk kesyahbandaran. Tetapi terkendala aturan pembangunan anjungan yang harus dilakukan PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni).
Langkah investor terhambat aturan yang berlaku secara nasional atas dasar alasan menjamin keselamatan transportasi laut. Meskipun demikian, lanjut Mohan, pihak investor saat ini terus berkomunikasi dengan Pelni agar pembangunan dermaga penghubung Bali dan Kota Mataram bisa mereka kerjakan. Kapal yang akan digunakan mendatangkan turis yang utamanya limpahan dari Bali, akan menggunakan fast-boat yang mampu perpendek waktu tempuh penyeberangan Bali-Lombok hanya dalam waktu satu jam, tak seperti saat ini yang dari Padangbai ke Lembar perlu waktu lima jam. Menurut Mohan Roliskana dengan adanya pelabuhan wisata akan tercipta interkoneksi untuk memberi kemudahan, sekaligus menciptakan “sister island” antara Pulau Lombok dengan Pulau Bali.
Namun yang jadi masalah kemudian adalah: penggunaan fast boat untuk angkutan cepat pariwisata saat ini masih menjadi kajian serius di kalangan pemangku kepentingan. Sebagian pelaku industri pariwisata mendukung penggunaan fast boat, karena selain daya angkutnya cukup besar, kecepatannya juga bisa diandalkan. Namun di fihak lain muncul penolakan, karena kebanyakan fast boat dioperasikan lewat pelabuhan yang tidak dikelola Badan Usaha Pelabuhan (BUP) maupun Unit Pelaksana Teknis Dinas Perhubungan (UPT Dishub) provinsi/kabupaten/kota, atau bahkan dari “dermaga pinggiran” oleh operator badan usaha non pelayaran. Dari beberapa kali kasus kecelakaan fast boat, ada dugaan kekurangsiapan dan kurang terpenuhinya syarat-syarat keselamatan pelayaran yang jadi penyebab munculnya pesoalan.
Diperkirakan saat ini terdapat sekitar 50 unit fast boat yang tiap hari beroperasi di Selat Lombok, 22 di antaraya langsung ke tujuan wisata di Gili Trawangan, Gili Meno, dan
Gili Air, hingga perugas Dishub yang mengawasi keluar/masuk wisatawan ke Lombok dari Pelabuhan Lembar, sering merasa “kecolongan”. Sulitnya melakukan pengawasan terhadap kapal, ABK dan penumpang, menambah sulitnya pendataan manakala terjadi musibah yang menimpa fast boat di perairan sekitar Pulau Lombok. Pada tahun 2016 lalu hanya terdapat data lengkap yang menimpa kecelakaan laut yang menimpa fast boat “Wahana Ocean IV” dengan 129 penumpang yang terjadi pada 5 Juni, dan fast boat “Gili Cat-2” dengan 35 penumpang yang terjadi pada 15 September. ***ERICK A.M.