Yogyakarta, Maritim
Tragis sekali nasib negeri tercinta ini. Sebagai negara kepulauan, ditambah memiliki garis pantai terpanjang di dunia, Indonesia justru mengalami kekurangan bahan baku ikan. Di mana, dengan bahan baku tersebut, berbagai produk industri sebenarnya bisa di olah jadi secara massal dalam berbagai jenis.
“Tapi nyatanya, kami belakangan ini malahan sering mengeluarkan rekomendasi untuk mengimpor bahan baku ikan. Saya tidak tahu sampai kapan kondisi seperti ini akan terus berlangsung ke depannya,” kata Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin, Abdul Rochim, saat Workshop Pendalaman Kebijakan Industri dengan Wartawan, di Yogyakarta, Kamis (30/8).
Sedangkan di sisi lain, dia menyatakan, sampai saat ini pihaknya di industri makanan dan minuman sudah mengimplementasikan revolusi industri 4.0 sekitar 30%.
Menurut Rochim, kalangan industri pengolahan dan pengalengan ikan yang membutuhkan bahan baku ikan sering menemuinya. Tujuannya untuk meminta saran dan masukan soal kelangkaan bahan baku ikan yang sudah berlangsung cukup lama belakangan ini.
Mereka, lanjutnya, meminta rekomendasi kepada Kemenperin agar diberikan izin untuk mengimpor bahan baku ikan.
“Sebagai negara maritim sangat aneh jika industri pengalengan ikannya kekurangan bahan baku. Sektor agro umumnya juga masih tergantung kepada bahan baku impor seperti gula, pakan ternak dan susu,” urai Rochim.
Seperti diketahui, Kemenperin saat ini telah menetapkan industri makanan dan minuman sebagai satu di antara lima sektor yang diprioritaskan pada revolusi industri 4.0. Empat industri lainnya adalah tekstil, kimia, otomotif dan elektronik.
Dipilihnya kelima industri prioritas tersebut karena dinilai paling siap dan mumpuni dalam mendongkrak peningkatan ekspor produk makanan dan minuman secara signifikan ke depannya di kancah persaing global.
“Dari perhitungan kami, pertumbuhan industri makanan dan minuman pada 2025 akan meningkat, termasuk untuk ekspor produk industrinya meningkat hingga 4 kali lipat. Peningkatan juga terjadi pada nilai tambah dengan target sebesar 5 kali lipat,” paparnya.
Rochim menyebutkan, pihaknya juga telah menetapkan target untuk industri makanan dan minuman menyongsong industri 4.0 hingga 2030. Pentahapannya, pada 2021, penerapan industri 4.0 akan mengurangi ketergantungan impor produk pertanian dan manufacturing makanan dan minuman. Seperti beras, ayam, gula, makanan laut olahan, coklat, tepung kanji serta buah dan sayur olahan. Dengan peningkatkan nett ekspor sebesar 50%.
Kemudian pada 2025, jadi pemimpin di industri makanan dan minuman untuk makanan kemasan sederhana hingga medium di tingkat ASEAN. Produk yang akan disasar yaitu air minum dalam kemasan, mie, teh siap saji dan kopi. Sekaligus sebagai powerhouse makanan dan minuman di ASEAN.
Sedangkan pada 2030, Indonesia ditargetkan jadi pemain terbesar di industri makanan dan minuman untuk produk makanan kemasan modern. Fokus produknya yaitu makanan bayi, makanan siap saji kemasan dan suplemen.
Sementara di tempat sama, Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi dan Alat Pertahanan (IMATAP) Kemenperin, Putu Juli Ardika, mengutarakan mengimplementasikan industri 4.0, industri otomotif memiliki fokus jadi pemain terkemuka dalam ekspor ICE dan EV.
Dengan pentahapan, pada 2021 memperkuat produk lokal kendaraan IDE, yang dilanjutkan pada 2025 memulai produksi lokal sepeda motor listrik. Kemudian pada 2030 memulai produksi lokal kendaraan listrik.
“Pada 2030, kita juga mulai mampu memproduksi sendiri kompon industri otomotif. Sehingga kita jadi pemain utama dalam produksi otomotif global,” harap Putu Juli.
Indonesia, tambahnya, telah siap untuk itu. Karena telah menguasai teknologi maupun pengadaan bahan bakunya.
Saat ini, investasi industri otomotif pada 2014-2017 mencapai Rp27,3 triliun, dengan kapasitas produksi pada 2017 sebesar 2,2 juta unit per tahun. Menyerap tenaga kerja sekitar 1,5 juta orang. Produksi pada 2017 mencapai 1,2 juta unit per tahun. (M Raya Tuah)