JAKARTA, MARITIM.
Kebijakan Presiden Joko Widodo yang akan menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia akan terwujud jika dilandasi dan berjalan di atas budaya maritim yang kuat. Itulah sebabnya Presiden Jokowi menampatkan agenda pembangunan kembali budaya maritim Indonesia sebagai pilar pertama.
Hal ini ditegaskan Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) DR.Hilmar Farid dalam orasi ilmiah “Budaya Maritim” di kampus Sekolah Tinggi Ilmu Maritim (STIMar) ‘AMI’ Pulomas, Jakarta Timur, Rabu (10/10). Orasi ilmiah yang dihadiri seluruh civitas akademika STIMar AMI itu dalam rangka Dies Natalis ke-58 sekolah tinggi tersebut yang telah diperingati pada 3 Oktober 2018.
Dipandu moderator Anggraeni Ety Suyoto dari STIMar AMI, Dirjen Kebudayaan selanjutnya mengatakan, pembangunan kembali budaya maritim Indonesia merupakan pilar pertama dari lima pilar yang ditetapkan presiden.
Pilar kedua, komitmen menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan fokus membangunan kedaulatan pangan laut melalui pengembangan infustri perikanan dengan menempatkan nelayan sebagai aktor utama.
Ketiga, komitmen mendorong pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, pelabuhan, logistik, industri perkapalan dan pariwisata maritim.
Keempat, diplomasi maritim yang mengajak semua mitra Indonesia untuk bekerjasama di bidang kelautan. Pilar kelima, pembangunan kekuatan pertahanan maritim sebagai negeri yang terletak pada perbatasan dua samudera (Pasifik dan Hindia).
Bagaimana caranya? Menurut Hilmar Farid yang diangkat sebagai Dirjen tanpa melalui jalur ASN (Aparat Sipil Negera) itu, kita perlu mempelajari kembali sejarah jalur rempah Nusantara di masa lalu, dimana waktu itu banyak kerajaan maritim yang besar dan kuat, baik kekuatan maritim maupun armada lautnya. Antara lain Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Malaka Demak, Banten, dan Ternate-Tidore.
Dijelaskan, jalur rempah adalah jalur interaksi ekonomi budaya yang dibentuk antar suku-suku bangsa Nusantara dengan negeri-negeri di Asia. Di sini orang Nusantara terlebih dulu memetakan Eropa, sedang bangsa Eropa hanya memanfaatkan jalur interaksi untuk kepentingan sendiri.
Jalur rempah juga menjadi jalur interaksi antar kawasan kebudayaan yang dibentuk lewat pengetahuan dan teknologi tradisional yang hidup di masyarakat. Jalur interaksi kultural antar masyarakat itu kini masih terus hidup, ditandai adanya simpul-simpul praktik, pengetahuan dan teknologi tradisional dalam mengolah kekayaan bangsa.
Pengetahuan dan teknologi tradisional ini telah dibuktikan masyarakat Bugis yang berhasil membangun kapal phinisi yang ternyata mampu berlayar hingga Vancover, Kanada. “Mereka membuat kapal phinisi tanpa konsep atau perencanaan yang jelas di atas kertas. Tapi buktinya berhasil dan phinisi mampu mengarungi dunia,” ujarnya bangga.
Strategi kebudayaan nasional
Menurut Hilmar, sendi-sendi penting dari budaya maritim yang melandasi jalur rempah merupakan jaringan kerjasama kebudayaan antar bangsa. Untuk itu perlu kesadaran guna melestarikan warisan budaya tradisi, termasuk pengetahuan dan teknologi tradisonal.
Semua sendi budaya maritim itu, kata dia, saat ini sedang diperkuat oleh Ditjen Kebudayaan. Atas amanat UU No.5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, di seluruh Indonesia kini tengah menyusun Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah Kabupaten/Kota.
Dari sana, akan dicatat pengetahuan tradisional dan teknologi tradisional. Sehingga nanti kita akan punya daftar obyek pemajuan kebudayaan yang kental dengan kemaritiman nusantara seperti kejayaan di era yang lalu.
Terkait soal ini, Dirjen berharap STIMar AMI memanfaatkan pengetahuan budaya maritim yang tengah dikumpulkan ini sebagai bahan dasar untuk melihat kontekstulisasi dan pengembangan di masa mendatang. STIMar yang telah banyak menghasilkan insan maritim juga diharapkan bisa mendorong munculnya rekomendasi dari insan maritim Indonesia untuk diikutsertakan dalam Strategi Kebudayaan Nasional.
Dalam hal ini, Ketua STIMar AMI Ketua STIMar ‘AMI’ Capt. Albert Lapian M. Mar. mengatakan, budaya maritim penting ditanamkan kepada generasi muda, terutama para taruna sekolah kemaritiman, termasuk STIMar AMI. Mereka tidak hanya wajib menguasai teknis pelayaran dan perkapalan, tapi juga harus melestarikan budaya maritim Indonesia.
“Sebagai duta bangsa, pelaut Indonesia di luar negeri jangan sampai pulang membawa budaya asing, namun harus tetap mempertahankan budaya Indonesia,” tegasnya kepada Maritim.
***Purwanto.