Bisnis Ikan Hiu: Yang Untung dan Yang Buntung

MATARAM – MARITIM : Bisnis ikan hiu di Indonesia, dapat disebut bagaikan fenomena gunung api di bawah laut. Puncaknya hanya terlihat sama-samar, tetapi potensi ledakannya menyimpan ancaman yang sangat mematikan. Maka ketika CNN (Cable News Network) Indonesia 12 Februari 2018 meyiarkan feature perdagangan ikan hiu hasil liputan langsung dari pasar “gelap” di Tanjung Luar, Lombok, masyarakat baru menyadari bahwa dibalik bisnis ini berkecamuk transaksi yang melibatkan uang sebesar Rp.1,4 triliun di tahun 2017.

Dengan gaya jurnalisme yang santun, CNN Indonesia mengawali investigasi dari dermaga, yang menampakkan sejumlah nelayan menggotong seekor hiu dari kapal, menuju Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Para nelayan bergantian meletakkan hiu hasil tangkapan mereka di antara ikan-ikan hiu lain di lantai TPI yang kusam, menunggu proses lelang.

Para pembeli yang merupakan pengepul dari kawasan Lombok, salah satunya adalah Abdul Halim, berkeliling TPI mencermati ikan-ikan  hiu yang baru tiba. Kemudian dengan antusias mengikuti lelang, karena permintaan meningkat menjelang hari raya Imlek. Jelasnya: “Akibat meningkatnya pembeli dari Surabaya, para juragan memerlukan lebih banyak barang. Maka suasana TPI yang sebelumnya agak sepi, menjelang Imlek kembali meningkat”.

Komoditas Ekspor: Bagian hiu yang paling diminati adalah siripnya, yang sebagian besar untuk pasar ekspor. Jelas Haji Ismail, pengepul lainnya: “Para buyer di luart negeri, paling banyak meminta kiriman bagian sirip yang peminatnya sangat banyak”.

Dari Tanjung Luar, sirip hiu di bawa ke Surabaya, untuk diekspor ke sejumlah negara antara lain Hong Kong, Tiongkok dan Taiwan. Daging dan bagian ikan yang lain, sebagian besar untuk pasar domestik, dan diolah oleh para pengrajin di Lombok Timur menjadi berbagai produk seperti bakso, kerupuk dan sate.

Tanjung Luar merupakan salah satu pasar hiu terbesar di Indonesia, dengan hiu sebagai hasil tangkapan utama para nelayan. Pagi itu puluhan ekor hiu berbagai spesies diperdagangkan, antara lain hiu kejen atau silky shark yang masuk dalam daftar Apendiks II Convention on International Trade of Endangered species, yang terancam punah, apabila perdagangannnya tak dikontrol.

Sampai saat ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) hanya melindungi hiu paus dari perdagangan dan penangkapan. Selain itu, larangan ekspor diberlakukan untuk hiu martil dan hiu koboi. Namun di sisi lain, bagi nelayan dan juragan perikanan tangkap, hiu menjadi produk perikanan yang menguntungkan, dengan nilai ekspornya mencapai Rp1,4 trillun rupiah pada 2017. Komoditas ekspor ini, diperdagangkan untuk pasar internasional dalam bentuk daging, sirip dan tulang hiu, serta hiu hidup.

Negara tujuan utama ekspor daging hiu adalah Tiongkok, dengan total nilai ekspor mencapai Rp626 milliar pada tahun 2017, disusul Thailand Rp356 milliar. Sementara untuk hiu hidup lebih banyak diekspor ke Hong Kong yaitu 1.098 ekor.

Bramantyo Satyamurti, Dirjen Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan KKP, mengatakan upaya perlindungan terhadap ekosistem laut dilakukan pemerintah sesuai keputusan CITES dan juga LIPI yang menentukan kuota tangkap. Ujarnya: “Harus kita ikuti, tetapi pahami juga dari hiu ini penghasilan nelayan cukup bagus. Kami pasti akan lindungi hiu yang dilarang melalui tindakan penegakan hukum, kalau hiu ini ditangkap dan dijual sesuai dengan peraturan. Dan bagi jenis hiu yang tidak dilindungi, tentunya tidak masalah. Mengfhadapi hal itu, kami harus lebih cermat dan berhati-hati”.

Berdasar kajian KKP, sebagian besar hiu ditangkap nelayan tanpa sengaja (bycatch) dan hanya 20% yang merupakan hasil tangkapan utama. Wildlife Conservation Society, menilai upaya perlindungan yang dilakukan pemerintah sudah progresif. Namun harus ada sejumlah inisiatif lain yang perlu dilakukan untuk lebih melindungi populasi hiu. Terkait hal tersebut, Tasrif Kartawijaya, Koordinator program Wildlife Conservation Society di NTB mengatakan: “Misalnya kuota diberlakukan sesuai dengan yang diberikan jaminan dari pengepul sendiri bahwa mereka tidak melakukan perdagangan secara ilegal”.

Bagaimana pun Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut Dirjen Pengelolaan Ruang Laut (PRL), Kementerian Kelautan dan Perikanan KKP, Andi Rusandi, menyebutkan salah satu upaya perlindungan ialah dengan menetapkan kuota dan pengawasan dalam perdagangan hiu terhadap kuota tangkap sekitar 400-an ekor per tahun. Jelasnya: “Untuk pengawasan dilakukan di tempat pelangan ikan dan pelabuhan-pelabuhan pendaratan ikan. Kalau memang ada yang dicurigai dari spesies yang dilarang untuk ekspor, maka kita periksa melalui laboratorium”.

Menurut Andi, pemerintah juga dalam proses mengkaji apakah dari 114 jenis hiu yang telah diidentifikasi itu terancam punah. Jelasnya: “Apakah melalui kuota ataupun perlindungan penuh maupun perlindungan terbatas, ada beberapa juga kebijakan yang kami kembangkan ketika dia mengurangi penangkapan bycatch, maka hiu anakan dan hiu hamil harus dilepas”.

 Populasi Menurun: Berdasar kajian WSC di Tanjung Luar, dikhawatirkan sejumlah populasi spesies hiu, telah mengalami penurunan. Jelas Tasrif: “Berdasar penelitian kami di Tanjung Luar, ada beberapa spesies yang termasuk Apendix II yang mengalami penurunan, sesuai indikasi hasil tangkapan mereka yang mulai berkurang. Kalau hal ini berlanjut, maka akan berdampak untuk jangka panjang. Karena terkait lamanya hiu untuk bereproduksi, jumlah anakan sedikit hingga perlu waktu panjang untuk pulih kembali seperti sediakala”.

Lebih jauh Tasrif mengatakan, penurunan populasi hiu di alam liar akan berdampak pada ekosistem di perairan. Ungkapnya: “Hiu ini penting dikelola atau diatur pengendalian dan pemanfatannnya terkait fungsi keberadaan hiu itu di ekosistem perairan. Mengingat ikan hiu merupakan top predator yang berfungsi sebagai indikator bahwa suatu ekosistem sehat atau tidak, dilihat dari komposisi rantai makanan. Jika fungsi dari predator hilang, akan menganggu komposisi atau rantai jejaring makanan di perairan. Kajian untuk mengetahui populasi hiu di alam liar juga perlu dilakukan dengan cermat”.

Usai mengikuti lelang di TPI Tanjung Luar, Ismail tampak memperhatikan hiu-hiu yang telah berhasil di belinya. Dengan wajah cerah ia menjelaskan: “Saat ini permintaan ikan makin banyak, tetapi jumlah ikannya makin berkurang. Pada hal, biasanya persediaan ikan rerata full, hingga harganya bagus”.

Ismail mengatakan, hari itu jumlah hiu yang didapat nelayan hanya sedikit hingga membuat harga lumayan tinggi, sehingga menguntungkan para pengepul seperti dirinya. Namun di sisi lain juga ada yang “buntung” karena perburuan ikan hiu di berbagai wilayah laut makin sepi.

Tak jauh dari TPI, nelayan penangkap hiu Ruslan Hakim dan tiga orang rekannya tampak bersiap melaut. Setelah hampir sekitar satu jam berlayar, mereka mulai melempar pancing di lautan, sambil berharap mendapat hiu dalam pelayarannya. Dia mengeluh karena hasil tangkapannya tak lagi seperti dulu. Ungkapnya; “Sekarang makin menurun. Pada hal mulai 2002 -2004 itu masih normal, hingga kalau kita memiliki modal melaut sebesar Rp.5-6 juta, masih dapat tertutup”.  (Erick Arhadita)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *