Menhub : Jual Tanah Air ? Salah Besar !

SURABAYA – MARITIM : Menepis tuduhan salah seorang calon Presiden dalam debat lewat televisi, bahwa saat ini pemerintah menempuh kebijakan “menjual Tanah Air” kepada asing , Budi Karya Sumadi Menteri Perhubungan Senin (8/4/2019) nyatakan: “Kerja sama penyelenggaraan pelabuhan dengan pihak asing, hanya terbatas pada pemanfaatan konsesi, dalam rangka memangkas ketergantungan kepada APBN. Sebab untuk membangun satu pelabuhan saja setidaknya diperlukan anggaran Rp10 miliar. Karenanya untuk mengurangi dependensi, pemerintah mendesain proyek-proyek infrastruktur berdasae skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU). Yang dikerjasamakan hanya konsesi. Maka, salah besar kalau disebut kita menjual Tanah Air”.

Dalam debat kandidat capres Sabtu 30/3/2019 terlontar kritik bahwa langkah pemerintahan yang mengizinkan asing ikut mengelola bandara dan pelabuhan di Indonesia, sama halnya dengan ‘menjual’ Tanah Air. Menurut Menhub, konsesi merupakan pemberian hak oleh penyelenggara pelabuhan (OP, KSOP, UPP) ke badan usaha pelabuhan untuk penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan tertentu dalam waktu tertentu dan kompensasi tertentu. Dan pengelolaan pelabuhan dengan asing sejauh ini baru dilakukan di Tanjung Priok Jakarta dan Tanjung Perak Surabaya.

Di Tanjung Priok, Jakarta International Container Terminal (JICT) sejak tahun 1999 dikelola perusahaan patungan antara PT Pelabuhan Indonesia II (Persero)/Pelindo II dan Hutchison Ports Holding (HPH), dan bersama dengan PT Hutchison Ports Indonesia, membangun dan melakukan joint operation (JO) Terminal Peti Kemas (TPK) Koja sejak 1998. Pelindo II juga membentuk usaha patungan dengan Mitsui & Co., Ltd., PSA International Pte Ltd serta Nippon Yusen Kabushiki Kaisha (NYK Line) menjadi PT New Priok Container Terminal (NPCT) 1 untuk mengoperasikan Terminal Kalibaru 1 (NPCT 1) sejak 2016.

Buka Kesempatan:

Sementara itu, di Tanjung Perak, Pelindo III bersama-sama DP World–setelah mengakuisisi P&O Dover (Holdings) Limited–mengelola Terminal Peti Kemas Surabaya (TPS) sejak 2006. Privatisasi TPS oleh P&O Dover berlangsung mulai 1999 dengan kepemilikan saham 49%.

Kendati demikian, Menhub minta agar Ditjen Perhubungan Laut mengevaluasi kerja sama itu apakah selama ini fair untuk Indonesia. Pemerintah juga akan membuka kesempatan bagi BUMN dan perusahaan swasta untuk mengelola beberapa pelabuhan dengan skema KPBU.

Sebanyak 14 pelabuhan tengah disiapkan, meliputi Anggrek, Bau-bau, Belang-Belang, Tahuna, Tobelo, Wanci, Serui, Kaimana, Pomako, Saumlaki, Dobo, Banggai, Labuan Bajo, dan Namlea. Ujar Menhub: “Bila Dobo dan Pelabuhan Anggrek Gorontalo dapat  dikerjasamakan dengan swasta, paling tidak APBN-nya satu tahun Rp50 miliar itu dapat untuk membangun Rote, Miangas, dan pulau-pulau di sekitar Papua”.

Hub Port KTI:

Entitas kepelabuhanan, merupakan bisnis yang multi kompleks, dan tak semata-mata hanya menyelenggarakan operasional dermaga saja. Karenanya sering timbul kesalahpengertian dengan menganggap bahwa tugas kepabeanan atau karantina bahkan keamanan, menjadi tanggungjawab PT Pelabuhan Indonesia/Pelindo I-II-III-IV selaku Badan Usaha Pelabuhan (BUP) dengan tugas utama sebagai operator terminal.

Memasuki era tahun 90-an, kondisi usaha pelabuhan berada pada pertumbuhan cukup baik. Selain Tanjung Priok dapat dinilai sebagai national hub port untuk Kawasan Barat Indonesia (KBI), maka Tanjung Perak sering disebut sebagai national hub port untuk Kawasan Timur Indonesia (KTI). Hal itu sejalan tumbuhnya perekonomian di lingkup usahanya: Jawa Tengah/Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

Tetapi akibat tingginya pertumbuhan ekonomi dan perdagangan domestik/internasional di Jatim, Pelindo III mulai kewalahan menampung pertumbuhan itu. Pelabuhan Tanjung Perak sudah mulai mengalami kepadatan cukup tinggi. Dengan Berth Occupancy Ratio (BOR) melewati 60%. Berarti sudah diperlukan membangun fasilitas baru sebagai pengembangan pelabuhan eksisting.

Dalam hal pelayanan bongkar muat ekspor/impor melalui Pelabuhan Tanjung Perak, Pelindo III sejak tahun 1984, telah memiliki engineering design dermaga dan lapangan penumpukan petikemas. Pembangunan dermaga sepanjang 500 meter berikut jembatan penghubung, pembangunan Container Yard (CY) di atas lahan seluas 36 hektar, serta pengadaan peralatan container handling, mulai dirintis dan selesai tahun 1992. Guna meningkatkan pengelolaan UTPK menjadi salah satu unit usaha yang potensial, sejak 1 Januari 1993 pengelolaannya dipisah dari struktur CabangTanjung Perak dan pengelola UTPK bertanggungjawab langsung kepada Direksi Pelindo III.

Berdasar scenario kebijakan Pembangunan Tahap III Pelindo III tahun 1997, di Pelabuhan Tanjung Perak akan dimulai penataan Pangkalan Jamrud dengan pembongkaran gudang 113 sampai dengan 118, yang kemudian di atasnya akan digunakan membangun lapangan penumpukan. Selain itu dilakukan pula pembangunan dermaga petikemas antar pulau yang lokasinya sejajar dengan trestle demaga petikemas ocean going, dengan 450 X 50 meter. yang diresmikan pada 11 Agustus 1998.

Krisis Global:

Memasuki tahun 1980-an, perdagangan dalam skala global makin mengalami peningkatan sangat signifikan. Berbareng dengan itu, pemanfaatan teknologi pengiriman barang dengan manggunakan petikemas yang dinilai menjadi lebih aman,  juga tumbuh dengan pesat. Banyak negara maju berlomba mengubah sistem bongkar muat barang, dan melengkapi pelabuhan strategis dengan peralatan dan fasilitas yang mampu menjawab pertumbuhan. Dengan demikian mulai bermunculan pelabuhan-pelabuhan maju yang memisahkan kegiatan terminal konvensional yang melayani bongkar muat general cargo dan kemasan urai, dengan terminal petikemas yang berperalatan serba mekanis/elektronis.

Di Indonesia, selain Pelabuhan Tanjung Priok yang sudah mengoperasikan Terminal Peti Kemas Koja, Pelabuhan Tanjung Perak juga mulai merintis segmen pelayanan petikemas lewat Divisi Uster dan UTPK. Tetapi untuk mendorong pertumbuhan unit usaha ini, perlu komitmen lebih mendasar, kendati disadari hal itu tak semudah membalik telapak tangan.

Hal ini terbukti, tatkala terjadi krisis ekonomi yang melanda Asia-Pasifik Juli 1997, berimbas pula terhadap kinerja Pelido III. Pada saat itu sulit diduga, krisis regional yang awalnya dipicu merosotnya nilai tukar mata uang bath dari Thailand terhadap dollar Amerika Serikat, bakal menjalar cepat ke negara-negara ASEAN. Sementara itu terdapat penilaian bahwa di antara negara-negara ASEAN, Indonesia merupakan negara yang paling parah terkena imbasnya serta diperkirakan akan cukup lambat dalam melakukan recovery ekonomi.

Fenomena lambannya pemulihan krisis ekonomi tersebut, berdampak langsung terhadap pengelolaan bisnis kepelabuhanan di Indonesia. Ekspor berbagai komoditas terutama non-migas, mengalami penurunan drastis, yang berakibat pula pada terjadinya kelangkaan petikemas (kosong).

Privatisasi UTPK:

Guna mengatasi kondisi itu, pemerintah mengambil langkah-langkah diluncurkannya program privatisasi terhadap 12 BUMN, termasuk PT (Persero) Pelabuhan Indonesia III. Melalui kajian mendalam, akhirnya ditempuh kebijakan bahwa privatisasi di Pelindo III tidak dilakukan secara total, tetapi parsial, melalui pemisahan Unit Terminal Peti Kemas (UTPK) dari unit usaha Pelindo III, untuk kemudian jadi usaha yang mandiri. Tujuan dilakukannya privatisasi, selain untuk penerimaan anggaran, juga memperbaiki kinerja BUMN, melalui peningkatan profesionalisme dan efisiensi usaha serta untuk dapat memberi pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat, utamanya pengguna jasa.

Privatisasi ini diharapkan akan mmpou meningkatkan nilai BUMN melalui akses teknologi, manajemen, pasar dan sumber-sumber pendanaan. Hal tersebut menjadi sangat penting, engingat pada saat itu modal swasta asing sangat dibutuhkan untuk menunjang stabilitas nilai tukar rupiah, serta kepercayaan pasar yang sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, sosial dan politik.

Sebagai realisasi program privatisasi di Pelindo III, pada 1 April 1999 berdasar Akta Notaris Rachmat Santoso No: 1 tanggal 1 April 1999 Nomor: C-6465 HT.01.01 tahun 1999 Pelindo III mendirikan anak perusahaan PT Terminal Petikemas Surabaya (PT TPS). Untuk pertama kali dan se;lanjutnya PT TPS dipimpin seorang Direktur Utama berkebngsaan Indonesia.

Nuansa Merah Putih:

Dalam perjalanan waktu menuju ke tahap privatisasi, cukup banyak fihak asing maupun nasional yang melakukan penjajakan untuk membeli saham PT TPS. Dari sekian calon muncul berbagai penawaran, tetapi belum terdapat kecocokan dalam hal komposisi kepemilikan saham.

Pimpinan Pelindo III berketatapan, agar putaran bisnis kepelabuhanan yang dijalankan PT TPS tetap “bernuansa merah putih”, maka direksi  berkeinginan untuk berada pada posisi pemegang saham mayoritas. Namun umumnya calon investor asing yang merasa memiliki modal kuat, jaringan pasar dan penguasaan teknologi serta kehandalan SDM justru ingin fihak mereka yang seharusnya menjadi pemegang saham mayoritas.

Kendati demikian, akhirnya ketemu juga calon investor yang mau menerima ketentuan yang ditawarkan pelindo III. Maka sehubungan dengan telah diperolehnya persetujuan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) pada tanggal 28 April 1999 atas penjuaan sebagian saham perseroan milik PT (Persero) Pelabuhan Indnesia III dan Koperasi Pegawai Pelindo III (Kopelindo) kepada Mermaid Shipping Limited sebagai fihak asing, maka komposisi saham jadi 51% milik Pelindo III dan Kopelindo III, sedang 49% saham dikuasai Mermaid Shipping Limited yang dalam hal ini diatasnamakan P&O Port Limited Pty Australia.

Cukup Prospektif:

Pada saat dilakukan privatissi, sempat muncul pertanyaan: mengapa dalam melaksanakan program privatisasi Pelindo III jatuh kepada pilihan UTPK ?  Alasan yang paling rasional adalah: dilihat dari segi pendapatan, kondisi UTPK sangat sehat dan mempunyai peluang usaha cukup prospektif. UTPK merupakan unit usaha penyumbang pendapatan terbesar kepada Pelindo III dibanding dengan pelabuhan cabang lain. Bahkan kontribusi pendapatan UTPK mencapai kisaran 50%. Berdasar kondisi kinerja ini, diharap investor asing akan tertarik untuk bergabung didalamnya.

Target yang ingin dicapai dalam realisasi program privatisasi dengan cara menggandeng investor asing adalah, disamping mendapat dana segar, juga untuk tujuan alih teknologi dan ilmu pengetahuan yang diharap dapat peningkatkan kinerja TPS. Selain hal itu, P&O Port Australia yang merupakan anggota kelompok bisnis kepelabuhanan besar kelas dunia, tentunya akan mampu membawa usaha patungan mereka ke pasar dan rantai logistic yang telah mereka kuasai selama ini, hingga dengan sendirinya akan mengkatrol TPS ke level pelabuhan kelas dunia, World Port Class !

Asosiasi Logistik dan Forwarding Indonesia (ALFI) menilai investasi asing di pelabuhan seharusnya bukan menjadi momok bagi perekonomian nasional, bahkan harus dilihat sebagai upaya peningkatan daya saing pelabuhan Indonesia dengan menekan biaya logistik. Ketua Umum ALFI Yukki Nugrahawan Hanafi menuturkan bahwa investasi asing maupun nasional itu akan berdampak positif selama memang adil bagi negara. Ujar Yuki: “Intinya di situ, jangan sampai negara dirugikan oleh bentuk investasi nasional maupun penanaman modal asing. Hampir di semua negara termasuk di kawasan Asia Tenggara membuka investasinya bagi asing di pelabuhan termasuk Vietnam, Thailand, dan Malaysia, sehingga PMA di pelabuhan bukan merupakan hal tabu dalam bisnis petikemas”.

Yuki mengaku sepakat dengan Menhub Budi Karya yang akan mengevaluasi perjanjian kerja sama dengan asing yang sudah berjalan lama. Ujarnya: “Supaya lebih menarik seharusnya daftar negatif investasi pelabuan dibuka saja, karena selama ini pelabuhan masuk negative list. Kalau logistik dibuka kenapa infrastruktur pelabuhan tidak, justru kalau ada alternatif pilihan seperti Patimban, dibantu Jepang, Pelindo jadi ada kompetisinya”.

Lebih jauh Yuki menilai, kerja sama asing dengan BUMN/swasta yang mengelola pelabuhan memang perlu dievaluasi dalam jangka panjang, sebab perlu ada pertimbangan juga kerja sama dilakukan dengan swasta nasional yang lebih menguntungkan.Menurutnya, selama ini investasi di pelabuhan masih kurang menarik bagi investor asing karena aturan DNI yang masih mengharuskan kepemilikan saham maksimal 49%. Padahal, investasi di bidang logistik sudah dibuka untuk asing hingga kepemilikan saham 67%, seharusnya investasi infrastruktur di pelabuhan pun demikian.

Ujar Yuki pula: “Jangan sampai ada anggapan hanya melindungi BUMN semata, harus berani bersaing, pelabuhan di Indonesia secara biaya lebih tinggi, bertambat di Indonesia lebih mahal dibandingkan negara-negara di Asean lainnya. Makin banyak asing dan swasta yang berkolaborasi akan membuat persaingan usaha menjadi lebih sengit dan ujungnya ongkos logistik akan menjadi lebih rendah. Proteksi terhadap BUMN sudah lewat dan tak lagi jadi isu utama. Saat ini seharusnya daya saing jadi fokus utama, berkaca pada keberhasilan negara tetangga dalam mengefisiensikan biaya kepelabuhanan mereka”.

 Masih menurut Yuki, fihak asing boleh usulkan lokasinya, karena mereka berpikir head to head dengan pelabuhan yang sudah ada, salah satunya Patimban karena akan menarik. DNI dibuka pelaku nasional dan asing akan berkolabroasi lebih banyak. Sementara itu  perjanjian yang sudah berjalan memang perlu ada evaluasi saat akan memperpanjang kontrak, agar lebih menguntungkan negara. Bukan semata melalui pajak pelabuhan, tetapi di daya saing serta pintu ekspor dan impor”. (Erick Arhadita)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *