RIBUAN pelaut Indonesia di luar negeri yang bekerja di kapal-kapal asing terancam bakal diturunkan dari kapal lantaran sertifikat kompetensi yang dimilikinya tak sesuai STCW (Standard Training & Certivicate of Wactkeeping) 2010.
Jika hal ini tidak segera diatasi serius, pelaut Indonesia akan kehilangan pekerjaan di luar negeri dan kepercayaan pemilik/operator kapal asing terhadap perusahaan pengawakan kapal di Indonesia akan menurun.
Masalah ini mencuat dalam dialog perusahaan pengawakan kapal dengan pejabat Direktorat Perkapalan dan Kepelautan (Ditkapel) Ditjen Perhubungan Laut, Rajuman Sibarani, pada RUA (Rapat Umum Anggota) CIMA (Consortium Indonesia of Manning Agency) di Jakarta, Rabu (7/12).
Diperkirakan, pelaut Indonesia yang bekerja di kapal-kapal asing saat ini sekitar 28.000 orang, mulai dari tingkat rating (bawah) sampai nakhoda. Kalau rata-rata gaji nakhoda USD 6.000-7.000 per bulan dan rating USD 1.000/bulan, maka devisa yang masuk cukup besar. Rajuman membenarkan, mulai 1 Januari 2017 semua pelaut yang berlayar harus memiliki tiga sertifikat khusus. Yaitu sertifikat kompetensi atau certificate of competence (COC), sertifikat profesiensi atau certificate of proficiency (COP) dancertificate of endorsement (COE) sesuai ketentuan STCW amandemen Manila 2010. Penegakan aturan ini akan dilakukan oleh PSC (Port State Controlle) di seluruh dunia, dengan memeriksa seluruh dokumen pelaut.
Pelaut yang tidak memiliki sertifikat sesuai STCW 2010 akan diturunkan. Bahkan, kapal juga bisa ditahan kalau pemilik/operator kapal tidak bisa menjamin pelautnya memiliki sertifikat internasional yang sah. Mengingat waktu semakin mendesak, para pelaut yang juga dibantu perusahaan pengawakan kapal berusaha segera memiliki sertifikat keahliannya. Namun, terjadi kendala dan saling lempar tanggung-jawab. Pihak diklat (pendidikan pelatihan) kepelautan menyatakan bahwa penerbitan sertifikat di tangan Ditkapel Ditjen Perhubungan Laut. Tapi setelah dicek ke sana, petugas bilang bahwa urusan sertifikat pelaut ada di diklat.
Silang sengkarut soal ini, Rajuman Sibarani menegaskan, wewenang penerbitan sertifikat COP telah diberikan kepada diklat kepelautan, meski pun yang menandatangani sertifikat adalah pejabat Ditkapel. Ia menilai diklat nakal yang menyatakan urusan sertifikat ada di Ditjen Hubla, telah melakukan ‘pembohongan publik’
“Penerbitan sertifikat pelaut telah kita serahkan ke diklat. Masalahnya, diklat kumpulkan dulu sampai banyak baru diambil dari Ditkapel setelah ditandatangani,” ujarnya seraya mengaku setiap hari menandatangani sekitar 2.000 sertifikat pelaut. Ia menyoroti kebiasaan orang Indonesia kalau sudah saat-saat terakhir (injured time) baru sibuk urus sana-sini. “Harusnya ini diurus jauh-jauh hari sebelum Januari 2017,” katanya seraya membandingkan bahwa Filipina sudah siap sejak 2014.
Sekjen CIMA Gatot Cahyo Sudewo yang jadi moderator dalam tanya jawab itu mengatakan, masalah tersebut bukan kali ini saja disampaikan ke pihak Ditjen Perhubungan Laut. Untuk mengatasi masalah teknis ini, CIMA mengusulkan agar Ditjen Hubla segera memanggil diklat kepelautan, sehingga permasalahan tidak makin berlarut-larut.
Untuk program ETO (ElectroTechnical Officer) baruada di Politeknik Pelayaran Surabaya dan saat ini baru mencetak satu angkatan (30 orang). Selanjutnya, program serupa akan dibuka di BP2IP Malahayati, Banda Aceh.Kurangnya jumlah diklat yang menyelenggarakan program ETO diakibatkan oleh tidak siapnya sarana dan prasarana diklat. Pihak Kemenhub hanya memberikan approval bagi diklat yang telah memenuhi persyaratan dalam menyelenggarakan program ETO.
Dalam pelaksanaanya juga terkendala karena harus sesuai kuota (minimal 25 orang) dan biayanya cukup mahal. “Kalau tak mencapai kuota, diklat ditangguhkan sampai kuota terpenuhi. Bisa juga dilakukan tapi peserta yang sedikit itu harus mau menanggung biaya diklat sesuai kuota,” kata Gatot kepada Maritim.
Menjawab pertanyaan tentang penerbitan buku pelaut, Rajuman mengatakan, sejak ada ‘gempa’ OTT (Operasi Tangkap Tangan) di gedung Kemenhub pada 4 Oktober lalu, Ditjen Hubla tidak lagi melayani buku pelaut. Pelayanan buku pelaut dilaksanakan di Syahbandar PelabuhanTanjung Priok dan Pelabuhan Sunda Kelapa. Tapi untuk dokumen identitas pelaut atau Seafares Identity Document (SID), khususnya bagi pelaut yang akan berlayar ke Amerika Serikat, petugas Ditjen Hubla tetap melakukan pelayanan.
Dampak lambatnya pengurusan sertifikat pelaut, tambah Gatot, pelaut Indonesia akan kehilangan pekerjaan di luar negeri dan posisinya akan digantikan oleh pelaut asing. Perusahaan pengawakan kapal juga akan kehilangan kepercayaan dari mitranya di luar negeri. “Sulit bagi kami jika hal ini terjadi, karena untuk menumbuhkan kepercayaan perlu waktu yang panjang dan sulit,” katanya.
Diperketat
Di bagian lain, Rajuman Sibarani menjelaskan, selama ini pihaknya telah menerbitkan 73 SIUPPAK (Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal), sedang 20 pemohon lainnya masih dalam proses. Namun ia menegaskan akan memperketat penerbitan SIUPPAK. Artinya, penerbitan izin harus sesuai peraturan yang tercantum dalam Peraturan Menhub (PM) No.84/2013 tentang perekrutan dan penempatan awak kapal. Misalnya, kontrak penempatan dan perlindungan pelaut yang tercantum dalam CBA (Collective Bargaining Agreement) harus jelas.
“Akan saya lihat per lembar. Prinsipnya, saya tidak mau kecolongan. Jadi, tidak akan ada kemudahan. Semua harus sesuai peraturan,” tegasnya. Kepada perusahaan yang telah mendapatkan SIUPPAK, Rajuman minta segera mengajukan permohonan (ke Ditjen Hubla) untuk audit tahunan. Pasalnya, dalam dua tahun setelah keluarnya SIUPPAK, belum ada yang minta audit, padahal itu (audit) wajib dilakukan setahun sekali.
“Kalau ini tidak dilakukan, akan berdampak besar di luar negeri ketika ada pemeriksaan oleh PSC. Kapal bisa ditahan karena SIUPPAK akan ketahuan belum diperbarui dengan lisensi yang belum diaudit,” ujarnya. [Purwanto]