Mengawali tahun 2017, dunia transportasi missal di sector laut tercoreng, menyusul tragedi maut terbakarnya kapal penumpang di perairan Jakarta Utara.
Ya, Kapal Zahro Express terbakar saat beranjak dari salah satu pelabuhan di Muara Angke menuju Pulau Tidung, Kepulauan Seribu, Minggu (1/1/2017) pagi.
Penumpang kapal tersebut merupakan wisatawan yang hendak menghabiskan masa liburan awal tahun 2017 dengan rekreasi ke Pulau Tidung, Kepulauan Seribu.
Penyebab terbakarnya kapal masih terus diselidiki. Untuk sementara, Kementerian Perhubungan menduga penyebab terjadi kebakaran adalah akibat korsleting listrik di ruang mesin.
Menurut Direktur Jenderal Perhubungan Laut Tonny Budiono Dugaan sementara, insiden itu kemungkinan besar akibat korsleting di ruang mesin. Diasumsikan mesin kapal tersebut meledak kemudian terbakar di kamar mesin yang di dalamnya terdapat tangki bahan bakar.
Kita berharap, musibah itu adalah sebuah ujian dan perlu diambil hikmahnya, bahwa secara procedural mungkin masih banyak yang perlu dibenahi dan ditegakkan prosedur tata kelola angkutan laut khususnya penumpang. Sebab, insiden demi insiden masih terus mewarnai angkutan laut dari tahun ke tahun.
Atas kejadian itu, kita mengapresiasi respon Ditjen Perhubungan Laut yang akhirnya mengelaurkan instruksi kepada Nakhoda. Instruksi Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, A. Tonny Budiono, Nomor UM.008/I/II/DJPL-17 tanggal 3 Januari 2017 tentang Kewajiban Nakhoda dalam Penanganan Penumpang Selama Pelayaran. Instruksi ini berisikan 10 butir yang harus dilakuka Nakhoda.
Memang Nakhoda bukan satu-satunya pihak yang mutlak bertanggung jawab atas kejadian tak diinginkan seperti kapal terbakar. Namun, perannya sangat dominan dan bahkan strategis. Intinya, Nakhoda harus memastikan bahwa secara procedural kapal laik laut, bukan secara administrative dengan diperolehnya Rekomendasi berlayar dari Syahbandar, namun juga secara riil kondisi kapal dan kru telah berkompeten untuk berlayar.
Namun, peran pengawas, dalam hal ini syahbandar (regulator) juga tak kalah pentingnya. Komitmen pengawasan perlu terus dilakukan, agar prosedur tentang tata kelola angkutan laut benar-benar dijalankan secara disiplin. Misal, sebelum menerbitkan rekomendasi berlayar, harus dicek dengan benar bahwa semua aspek keselamatan pelayaran telah dipenuhi oleh kapal dan krunya.
Tak kalah pentingnya juga adalah peran owner kapal atau perusahaan pelayaran. Jika ada permintaan dari kru kapal untuk mengganti spare part yang memang sangat erat dengan factor keselamatan pelayaran, maka jangan ditunda-tunda lagi.
Nah, dengan disiplinnya tiga unsure, yakni kru kapal, regulator (syahbandar) dan operator (pemilik kapal) , maka kita harapkan dapat meminimalisir jatuhnya korban jiwa jika terjadi musibah kecelakaan. Semoga. **[REDAKSI]