Jakarta, Maritim
Kementerian Perindustrian ( menegaskan, masuknya empat juta ban dari beberapa negara ke Indonesia harus disikapi dengan aturan-aturan yang sudah berlaku selama ini.
“Jika Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 77 tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Ban menyebutkan, bahwa ban yang masuk harus melalui Pusat Logistik Berikat (PLB), maka setelah keluar dari PLB juga harus diverifikasi oleh surveyor. Sehingga kita mengetahui ban impor tersebut sudah memiliki Standard National Indonesia,” kata Dirjen Industri Kimia, Tekstil dan Aneka (IKTA) Kemenperin, Achmad Sigit Dwi Wahjono, menjawab Maritim, di Jakarta, Selasa (10/1).
Sementara di tempat terpisah, Direktur Industri Kimia Hilir Kemenperin, Teddy C Sianturi, dari kebutuhan ban kendaraan roda empat di dalam negeri sebesar 30 juta, sekitar 46% di antaranya dipenuhi dari ban impor.
Seperti diketahui, belakangan ini soal masuknya empat juta ban dari beberapa negara ke Indonesia sejak tahun lalu cukup membuat heboh. Padahal, pada 2015 kiriman ban dari beberapa negara tersebut hanya sekitar 1,5 juta ban saja.
Menurut Sigit, PLB adalah salah satu upaya untuk mengatasi kongesti di pelabuhan dan mempunyai perangkat yang sama dengan pelabuhan lainnya di laut untuk administrasi customnya.
“Makanya, kalau ban impor masuk PLB, tatkala mau dikeluarkan juga harus disertifikasi terlebih dahulu oleh surveyor. Sehingga ban yang keluar benar-benar memiliki SNI. Karena itu, Kemenperin mendukung terbitnya Permendag No 77 tahun 2016. Kita dukung, sebab itu merupakan upaya sebagai memonitor impor ban. Supaya ada fair trade,” ujar Sigit.
Sedangkan Teddy menjelaskdan, keberadaan 14 prdusrn ban nasional telah mampu memproduksi berbagai tipe dan ukuran ban mobil penumpang, truk dan kenraan berat dengan kapasitas produksi 77 juta ban mobil, truk ran bus serta ban 64 juta ban sepeda motor.
Hasil produksi tersebut, katanya, dapat memenuhi kebutuhan domestik. Di man khusus ban mobil penumpang sekitar 70% hasil produksinya diekspor ke berbagai negaea sepert Amerika Serikat, Jepang, Asia, Australia dan Eropa. Dengan nilai ekspor sebesar US$1,6 miliar per tahun.
“Walaupun ban impor mencapai 50% dari kebutuhan nasional, itu tidak perlu dipermasalahkan, selama ban impor yang masuk ke wilayah Indonesia sudah memiliki SNI,” tambahnya.
Kebijakan penerapan SNI Ban secara wajib telah dimulai sejak 1 April 2006 dan berlaky untuk lima jenis ban. Di mana selama periode 2006-2016 terjadi kenaikan yang konsisten pada volume maupun nilai dengan rata-raa sekitar 35% per tahun untuk impor ban kategori SNI wajib.
“Namun begitu, saat ini ban-ban impor dengan ukuran yang tidak sesuai dengan SNI masih ditemukan di pasar. Khususnya ban yang berasal dari China dan India. Nilai ply rating yang melebihi ketentuan seringkali digunakan untuk mempromosikan kekuatan ban. Namun tidak sesuai dengan peruntukannya,” tegas Teddy. (M Raya Tuah)