Maritim, Jakarta
Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta menilai Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 206 Tahun 2016 tentang Panduan Rancang Kota Panduan Rancang Kota Pulau C, Pulau D dan Pulau E Hasil Reklamasi Kawasan strategis Pantai Utara (Pergub 206,2016 PRK Pulau C, D, dan E) merupkan aksi melanggar hukum, tidak etis dan mengkhianati mandat PResiden untuk melakukan penataan pesisir Teluk Jakarta. Setidaknya terdapat lima kesalahan untuk menunjukan bahwa Pergub yang diterbitkan 2 hari menjelang cuti itu memiliki masalah.
Arman Manila Pelaksana Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, dalam siaran pers yang diterima Maritim hari ini (16/12016) menuturkan, “Pertama, Pergub 206/2016 diterbitkan sepihak, tanpa ada proses partisipasi warga maupun organisasi lingkungan yang berkepentingan terhadap perlindungan lingkungan. Sangat jelas tidaka da proses pelibatan masyarakat maupun konsultasi public bahkan sosialisasi dalam perumusan hingga terbitnya beleid ini. Prosesnya dilakukan secara diam-diam, tidak transparan, dan sangat tidak bertanggungjawab.”
Kedua, tidak mendasarkan kepada Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang telah ditegaskan dengan terbitnya PP No. 46 Tahun 2016 yang wajib bagi perumusan rencana tata ruang wilayah beserta rencana rincinya. Jakalaupun berdalih menjadi aturan organic dari Perda No. 8 tahun 1995 Tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantura Jakarta tidak dapat dibenarkan. Karena PErda No. 8 Tahun 1995 masih mengacu desain reklamasi yang lama yang sudah berubah jauh serta berbagai peraturan baru telah mengubah rezim hukum pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Ditambah lagi, panduan rancang kota sudah sewajibnya memeiliki Kajian AMDAL berdasarkan Permen LH No. 5 Tahun 2012 yang mewajibkan AMDAL bagi Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan luas lebih dari 25 hingga 2000 hektar.
Ketiga, status reklamasi Teluk Jakarta masih berada dalam moratorium, yang sejalan dengan perintah presiden Jokowi untuk melakukan pengkajian ulang. Moratorium dilakukan dengan sanksi Kementerian Lingkungan Hidup yang sudah seharusnya diperberat dengan pencabutan izin lingkungan dari setiap pembangunan pulau tersebut karena pihak swasta/pengembang juga Pemprov DKI tidak mampu memenuhi kewajiban yang dinyatakan dalam sanksi lingkungan hidup tersebut. Bahkan bertentangan dengan rekomendasi dari kajian yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menghentikan pembangunan pulau reklamasi yang belum terbangun.
Keempat, dibuat tanpa dasar hukum yang harus menjadi acuan yaitu Peraturan Daerah mengenai Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang terindikasi ada dugaan korupsi yang terjadi antara pihak swasta, eksekutif dan legislatif. Di sisi lain, Perda No 8/1995 sudah kadarluasa karean aturannya sudah seharusnya diperbaharui dan tidak berlaku seperti Kepres No 52 Tahun 1995 yang sudah dinyatakan dicabut oleh Perpes No 54 Tahun 2008. Ini menunjukkan tindakan ini merupakan abuse of power dari Gubernur Ahok selaku eksektutif.
Terakhir, Pergub ini diterbitkan 2 hari menjelang cuti pilkada ini menunjukkan intergritas yang bermasalah dari Gubernur Ahok dalam proyek reklamasi. Integritas yang bermasalah ini tidak hanya kali ini saja, tetapi sejak mulai menjadi PLT Gubernur yang memperpanjang izin lokasi yang sudah tidak bisa diperpanjang karena habis jangka waktu yang dipaksakan diterbitkan. Tindakan Gubernur Ahok sangat berbahaya karena menggunakan kewenangannya menerbitkan aturan untuk proses yang bermasalah menunjukkan itikad tidak baik melindungi proyek yang bermasalah. [Mrtm]