Jakarta, Maritim
Pelantikan lebih dari seratus pejabat eselon III dan IV di lingkungan Kementerian Ketenegakerjaan pekan lalu, menuai kontroversi. Bahkan sejumlah pejabat mengindikasikan pelantikan tersebut diwarnai aroma Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Aroma tak sedap itu muncul setelah melihat kenyataan bahwa sebagian pejabat yang dilantik belum memenuhi syarat, tidak sesuai kompetensi yang dibutuhkan, ada yang mendapat jalan pintas, bahkan ada pula yang telah mendapat surat keputusan (SK) pensiun. Di antara mereka banyak yang mendapat promosi, tapi banyak pula yang hanya mutasi pada level yang sama, baik di satuan kerja yang sama maupun pindah ke satuan kerja lain di kementerian tersebut.
Mereka dilantik oleh Menteri Ketenagakerjaan M. Hanif Dhakiri Jumat (28/4) petang di Ruang Serba Guna Kemnaker. Pada pagi harinya, Menaker melantik 5 pejabat tinggi madya (eselon I) dan pejabat tinggi pratama (eselon II). Mantan Dirjen Bina Penta DR. Reyna Usman dilantik sebagai Staf Ahli Menaker, sedang 4 pejabat eselon II yang dilantik antara lain Brigjen Pol. Muh. Iswandi Hadi sebagai Direktur Penegakan Hukum dan Helmiaty Basri sebagai Kepala Balai Besar Cevest.
Pelantikan Helmiaty menuai kontroversi karena sejak pindah dari Pekanbaru ke Kemnaker tahun lalu langsung diangkat menjadi Plt. Kepala Biro Humas Kemnaker. Dalam pelantikan sebelumnya, ia menjadi salah satu Kabag (Kepala Bagian) di Biro Humas. Tapi dalam pelantikan kali ini, dia naik menjadi pejabat eselon II di Cevest, Bekasi.
Hingga saat ini, masih ada satu jabatan eselon I yang belum terisi definitif, yakni Dirjen Pengawasan dan K-3. Menurut keterangan yang diperoleh Maritim, calon kuat Dirjen Pengawasan dan K3 adalah Inspektur Jenderal Pol. Sugeng Priyanto, mantan Kapolda Bali. Namun, SK pengangkatan untuk jabatan baru itu belum ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo.
Aroma KKN itu disebutkan oleh sumber Maritim yang tak mau disebut namanya. Ia menunjuk La Ode Haji Polondu yang dilantik sebagai Kepala Bagian Rumah Tangga Biro Umum, menggantikan Danton Ginting Munthe yang dimutasi di Pusdiklat.
Sebelumnya, La Ode berprofesi sebagai tenaga pendidik di Kendari, Sulawasi Tenggara. Dia meninggalkan profesi guru dan bergabung ke Kemnaker sejak beberapa bulan lalu.
“Ini jelas melanggar pasal 16 Undang undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Dalam pasal tersebut tercantum jabatan administrator, jabatan pengawas dan jabatan pelaksana harus sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan,” katanya.
Baru beberapa bulan sebagai staf di Biro Umum, lanjut sumber itu, yang bersangkutan langsung diangkat sebagai pejabat eselon III, tanpa melalui eselon IV. Sementara pegawai yang bekerja di unit lain sulit mendapat promosi, meski sudah lebih sepuluh tahun mengabdi.
Meski baru beberapa bulan sebagai staf, orang ‘bawaan’ pejabat ini dinilai sangat mulus menduduki jabatan eselon III. Karena itu, sumber tadi mempertanyakan kompetensi La Ode yang berasal dari tenaga pendidik di daerah tiba-tiba mengurusi bidang rumah tangga di tingkat kementerian.
Selain itu, ada juga pejabat eselon III yang sudah mendapat SK pensiun masih tetap dilantik. Meski akan memasuki usia pensiun pada Oktober 2017, tapi pelantikannya dinilai tidak efisien dan pemborosan. “Masa kerjanya tinggal beberapa bulan lagi, kenapa masih dilantik juga,” ujar sumber lain kepada Maritim.
Pejabat berwenang
Menurut sumber itu, pengangkatan para pejabat tersebut diduga tidak lepas dari campur tangan seorang kepercayaan Menaker Hanif berinisial L yang menjabat sebagai salah satu Pramu Bhakti Pembantu Pimpinan. Mr. L dikenal luas di kalangan pejabat Kemnaker, mengingat perannya begitu ‘luar biasa’.
Mengutip pasal 54 UU ASN, sumber tadi menyebutkan, Presiden dapat mendelegasikan kewenangan pembinaan Manajemen ASN kepada pejabat yang berwenang di kementerian, sekretaris jenderal/sekretariat lembaga negara, sekretariat lembaga nonstruktural, sekretaris daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Pejabat dimaksud menjalankan fungsi Manajemen ASN di instansi pemerintah berdasarkan sistem merit dan berkonsultasi dengan Pejabat Pembina Kepegawaian di instansi masing-masing.
Pejabat tersebut memberikan rekomendasi usulan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian di instansinya. Baik tentang pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat administrasi maupun fungsional kepada Pejabat Pembina Kepegawaian.
“Namun, UU itu tidak menyebutkan pejabat dimaksud dapat melimpahkan wewenangnya kepada Pramu Bhakti Pembantu Pimpinan, dalam pengangkatan, pemindahan atau pemberhentian pejabat,” tegasnya.
Dalam proses pelantikan itu juga muncul pengakuan seorang pejabat eselon IV yang ditawari jabatan eselon III oleh “seseorang” tapi harus bayar Rp 150 juta. Tapi tawaran itu ditolak. Sementara, dari eselon III yang ingin naik jadi eselon II harus setor minimal Rp 500 juta.
Terkait soal ini, sumber Maritim mengingatkan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang telah mencium maraknya jual beli jabatan di berbagai instansi pemerintahan. Namun, untuk mengungkap kasus suap ini bukan hal yang mudah.
“Meski kejadiannya tercium dengan jelas, perlu upaya khusus untuk membongkarnya,” pungkasnya mengutip pernyataan Ketua KPK Agus Rahardjo.
Purwanto.