JAKARTA, MARITIM
Pemerintah menargetkan Indonesia bebas pekerja anak pada tahun 2022. Untuk itu, pemerintah telah mendeklarasikan program “Zona Bebas Pekerja Anak” di berbagai kawasan industri. Semua perusahaan di kawasan industri dilarang keras merekrut dan mempekerjakan pekerja anak di semua bidang.
Hal ini ditegaskan Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan Kesehatan Kerja (PPK&K3), Maruli A Hasoloan, usai pembukaan Kampanye Indonesia Bebas Pekerja Anak (KIBPA) di Jakarta, Senin (12/6).
Kampanye dibuka oleh Pelaksana Harian (Plh) Sekjen Kemnaker, Sugiarto Sumas, mewakili Menaker Hanif M. Dhakiri karena sedang mengikuti sidang ILO di Jenewa, Swiss. Kampanye dilakukan bertepatan dengan peringatan Hari Dunia Menentang Pekerja Anak pada 12 Juni.
Sebagai langkah strategis dalam pencegahan dan penghapusan pekerja anak, kampanye ini merupakan babak baru dalam memutus rantai kemiskinan melalui pendekatan yang terencana dan sistematis dimulai peningkatan kualitas sumberdaya manusia.
Kampanye bebas pekerja anak, menurut Maruli, menjadi momentum kebangkitan generasi penerus bangsa Indonesia yang lebih berkualitas dan kuat, baik fisik, mental dan intelektualnya. Yakni generasi yang mampu menjawab semua tantangan jaman semakin kompleks dan semakin mengglobal, dimana batas-batas negara dan pergerakan manusia semakin terbuka dan bebas, sehingga terjadi persaingan dan kompetensi yang sangat tinggi dalam memperebutkan semua peluang yang ada.
Ia menilai penanganan dan penghapusan pekerja anak bukan masalah sederhana. Tetapi cukup kompleks dan lintas sektoral, sehingga menjadi tanggungjawab semua pihak.
Oleh karena itu, seluruh pemangku kepentingan perlu terlibat secara aktif untuk mengeluarkan anak dari dunia kerja dan memberikan perlindungan anak beserta hak-haknya. Sehingga mereka dapat hidup tumbuh, berkembang dan berpartisipasi optimal sesuai harkat dan martabatnya.
Pemerintah, lanjut Maruli, menyadari tidak semua anak Indonesia memiliki kesempatan untuk memperoleh hak-haknya secara penuh dan menikmati kebutuhan khasnya, yaitu bermain, bersekolah dan istirahat yang cukup. Terutama anak-anak yang terlahir dari keluarga miskin atau rumah tangga sangat miskin.
Pada hakekatnya, tegas Maruli, anak tidak boleh bekerja karena waktu mereka selayaknya dimanfaatkan untuk belajar, bermain, bergembira, berada dalam suasana damai. Mendapatkan kesempatan dan fasilitas untuk mencapai cita-citanya sesuai dengan perkembangan fisik, mental, sosial dan intelektualnya.
Terkait soal ini, pemerintah juga mendorong gerakan nasional penghapusan pekerja anak, serta membuka akses pelatihan kerja bagi anak yang akan memasuki usia kerja. Ia mengharapkan kampanye bebas pekerja anak ini diperluas ke seluruh wilayah Indonesia.
Penghargaan
Sementara itu, Direktur Pengawasan Norma Kerja, Perempuan dan Anak, Ditjen PPK & K3, Amri AK, mengatakan melalui kegiatan Pengurangan Pekerja Anak dalam rangka mendukung Program Keluarga Harapan (PPA-PKH), sejak 2008 hingga akhir 2016 Kemnaker telah menarik 80.555 pekerja anak di seluruh wilayah untuk dikembalikan ke dunia pendidikan.
“Pada 2016 telah ditarik 16.500 pekerja anak untuk dikembalikan ke dunia pendidikan. Untuk tahun ini, pemerintah menargetkan penarikan 17.000 pekerja anak di seluruh Indonesia,” katanya.
Dalam acara tersebut diserahkan pula penghargaan kepada 5 pimpinan daerah sebagai pelaksana terbaik upaya pencegahan dan penghapusan pekerja anak. Yaitu Kabupaten Gianyar (Bali), Kutai Kertanegara (Kaltim), Banyuwangi (Jatim), Temanggung (Jateng) dan Kabupaten Bantaeng (Sulsel). **Purwanto.