ERICK Arhadita dari Maritim, meliput Pelabuhan Probolinggo, yang di era kolonial
disebut zuiker-haven, tetapi sempat terpuruk. Bagaimana upaya Dany R. Agustian,
GM Pelindo III gigih mencari peluang? Berikut laporannya dalam 3 seri:
KRONIK “Desa-desa Warnana” yang lebih dikenal sebagai “Negarakrtagama” karya mPu Prapanca, menyebut bandar ini dengan nama Banger, karena aroma tak sedap dari Kali Klakah. Bersama dengan Tuban dan Gresik, Banger merupakan gerbang laut strategis untuk Majapahit. Ketika kemudian Majapahit runtuh, Banger menjadi benteng terdepan Lamajang Tigang Juru dan kemudian Blambangan mempertahankan faham Hindu dari pengaruh Islam Demak yang diteruskan oleh Sultan Agung Mataram.
Ekspansi terhadap “bang wetan” meliputi Pasuruan, Probolinggo, Lumajang hingga Banyuwangi berlangsung dalam beberapa gelombang mulai akhir abad ke-16 dan baru mulai menampakkan hasil pada tahun 1616 ketika Sultan Agung berhasil menaklukkan Pasuruan, kemudian Probolinggo (gabungan kesultanan Puger, Gending dan Pajarakan). Keberhasilan itu tak lepas dari “bantuan” kompeni yang mengincar konsesi lahan subur mulai Pasuruan hingga Situbondo, yang kelak mereka jadikan perkebunan tebu, pemasok industri gula yang merupakan komoditas ekspor andalan Hindia Timur ke Eropa.
Untuk itu, dibangun pabrik-pabrk gula di Plered, Sukorejo, Rejoso, Gayam, Winongan, Puntir, Kedawung, Jatiroto dll. Sebagai gerbang ekspor, dikembangkan juga bandar-bandar Pasuruan, Probolinggo dan Panarukan menjadi pelabuhan besar yang disebut suiker-haven (pelabuhan gula). Mencermati lakon sejarah itu, sastrawanpolitikus Max Havelar yang lebih dikenal dengan nama Multatuli sempat melotarkan kritik dengn menulis: Lihatlah tuan-tuan di Nederland, bahwa negeri tuan tak sampai tenggelam karena ditopang oleh industri gula yang berada di tanah jajahan. Ketahuilah pula bahwa invasi ke kawasan timur Jawa, bukan didasari pertimbangan politik maupun kultural, tetapi semata-mata diakibatkan kerakusan ekonomi semata-mata !
Sampai dengan tahun 1920-an Pelabuhan Probolinggo mampu mempertahankan perannya sebagai gerbang ekspor industri dan hasil agro. Disamping itu, juga merupakan pelabuhan untuk kapal-kapal penumpang, bukan saja bagi yang berniat menyeberang ke dan dari Pulau Madura, tetapi juga ke Kawasan Timur Indonesia mnggunakan kapal KPM (Koningsche Paketvaart Maatschappij) yang sebulan sekali singgah di pelabuhan ini. Bahkan sampai dengan tahun 1960-an di era kemerdekaan, Probolinggo merupakan pelabuhan embarkasi calon jemaah haji yang kala itu mengggunakan kapal-kapal “Belle Abeto” dan “Mei Abeto” yang dioperasikan PT Arafat.
Ironisnya, ketika Provinsi Jawa Timur mulai berhasil melakukan transformasi dari ketergantungan terhadap agraria ke industrialisasi, peran pelabuhan-pelabuhan penyangga ekspor impor justru kian merosot. Tumbuhnya industri manufakturing berorientasi ekspor di Pasuruan dan Probolinggo waktu itu, tak diikuti dengan modernisasi infrastruktur pelabuhan yang terdapat di dua wilayah ini. Sebaliknya, modernisasi Tanjung Perak ke arah pelabuhan kelas dunia, merupakan konsekuensi logis kepada pilihan menggunakan satu gerbang ekspor /impor bahkan juga interinsuler, dibanding lewat pelabuhan konvensional.
“Pelabuhan Pasuruan dan Proboliggo dikepung sentra industri Ngoro, PIER (Pasuruan Industrial Estate Rembang) dan pabrik-pabrik penghasil komoditas ekspor lain, tetapi untuk mengapalkan lewat dua pelabuhan yang ada dan pernah mengalami masa jaya, merupaka suatu keniscayaan, karena kondisi dua pelabuhan itu tidak mendukung. Selain peralatan bongkar muat yang serba kurang, kondisi alur pelayaran maupun dermaganya juga tak bisa melayani kapal-kapal besar” tutur Dany Rachmat Agustian General Manager PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) Cabang Probolingo dalam perbincangan dengan Maritim.
Pelindo III Cabang Probolinggo, selain mengelola Pelabuhan Tanjung Tembaga juga menjadi induk Pelabuhan Kawasan Pasuruan dan Panarukan. Secara geografis, lokasinya didukung oleh hinterland penghasil komoditas ungguln seperti industri kertas Leces, pabrik- pabrik gula di Situbondo, Probolinggo dan Pasuruan. Selain di sentra industri PIER yang saat ini sudah menampung lebih dari 20 pabrik, di luar itu juga terdapat industri kimia, makanan/ minuman dalam kemasan, juga terdapat manufakturing dan perakitan alat-alat berat.
“Beberapa waktu lalu, terdapat wakil dari pabrik alat berat yang menjajagi peluang mengapalkan produknya ke Surabaya, karena kalau dikirim menggunakan angkutan darat akan menghadapi kendala perijinan disebabkan ukuran barang yang besar dengan bobot cukup berat. Dengan pengiriman menggunakan kapal, meskipun harus dengan reede karena kapal tak bisa sandar di dermaga, tetapi tak ada masalah. Namun rencana pengapalan tetap tak bisa dilakukan, karena tak mungkin melewati kolong jembatan Suramadu. Bisa ditempuh dengan kapal berlayar memutar melewati ujung timur perairan Pulau Madura, tetapi cara ini dinilai tidak efisien karena selain memerlukan waktu lebih lama, juga biaya lebih besar” ungkap Dany memberi contoh kendala yang harus dihadapinya.
Dijelaskan pula bahwa sebenarnya dari fihakManjemen Pelino III bukannya tak ada niatan merevitalisasi Pelabuhan Tanjung Tembaga Pobolinggo. Tetapi mempertimbangkan anggaran yang masih terkonsentrasi mengembangkan infrastruktur di cabang lain yang lebih mendesak, maka dibuka kemungkinan kerjasama dengan investor yang berminat menanam modal di bidang pembangunan pelabuhan. Selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini, setidaknya telah terdapat tiga calon investor yang ajukan proposal membangun Pelabuhan Probolinggo, tetapi pada akhirnya gagal berlanjut.
“Kami yang mendapat kepercayaan ditugasi mengelola Cabang Probolinggo, sadar untuk mengembangkan infrastruktur pelabuhan perlu dana besar dan keseriusan. Karena itu kami mencoba menyiasati kondisi dengan mencari peluang yang ada, kendati mungkin kecil-kecilan, yang penting mampu pertahankan eksistensi pelabuhan yang di masa lalu pernah berjaya ini” tutur Dany GM Pelindo III Cabang Probolinggo. (Bersambung)***ERICK A.M.