DALAM rangka meningkatkan taraf hidup dan pendapatan masyarakat pesisir pantai yang sebagian besar bergantung dari hasil laut, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (Pemprov NTB) mengharap rumput laut bisa menjadi salah satu komoditas andalan ekspor daerah itu. Rosiady Sayuti, Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) NTB mengatakan saat ini rumput laut merupakan komoditas yang tengah digenjot lewat program PIJAR (Sapi, Jagung, dan Rumput Laut), dengan harapan mampu mengurangi kemiskinan yang banyak dialami oleh masyarakat pesisir. Ujarnya; “Ini merupakan bentuk kontribusi terhadap masyarakat, sehingga bisa mengatasi masalah kemiskinan yang selama ini menjadi concern bersama”.
NTB dikenal sebagai salah satu daerah penghasil rumput laut dengan hasil mencapai 1 juta ton/tahun rumput laut basah yang bila dikeringkan jadi 125.000 ton/tahun,tamanya banyak diekspor ke Tiongkok. Disayangkan, karena teknologi pengolahannya masih secara sederhana, harga yang didapat petani masih belum bisa meningkat. Harga jual rumput laut kering ditingkat pengumpul senilai Rp.12.000 per kilogram.
Daerah penghasil rumput laut di NTB ialah Kabupaten Lombok Timur dan Kabupaten Lombok Tengah, dengan 10 sentra minapolitan, meliputi Desa Pengantap, Lombok Barat, dengan potensi 600 hektare (ha), Teluk Gerupuk, Kabupaten Lombok Tengah (200 ha). Selain itu, sentra minapolitan rumput laut di Kabupaten Lombok Timur, masing-masing Teluk Ekas (400 ha) dan Teluk Serewe (800 ha), serta di Teluk Awang (400 ha). Sedang sentra minapolitan rumput laut di Pulau Sumbawa, berada di Kertasari Kabupaten Sumbawa Barat (400 ha), Labuhan Mapin, Kabupaten Sumbawa (300 ha), di Kecamatan Terano (2.000 ha).
Ada juga di Kuangko, Dompu (800 ha), dan di Waworada, Bima, (2.000 ha).
Sementara itu Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) mengharap pengembangan industri rumput laut tak dilakukan di sentra-sentra budi daya. Sunardi Harjo, Koordinator ARLI Wilayah Bali Nusa Tenggara katakan pihaknya memiliki dua pertimbangan dalam hal pengembangan industri rumput laut, utamanya yang terkait tenaga kerja dan juga aspek ketersediaan air bersih. Jelasnya: “Kalau industri rumput laut dengan sentra budidaya, maka tenaga kerja yang sebelumnya bekerja untuk proses budi daya bisa beralih ke industri, maka nantinya tak efektif dalam proses produksi. Sebab ketersediaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan industri minim diperoleh di area sentra budidaya”.
Senada dengan Sunardi, Linawati Hardjito pemilik CV Ocean Fresh pengelola pabrik kosmetik berbahan dasar rumput laut mengatakan pihaknya akan memilih lokasi yang dekat dengan konsumen. Dari sisi bisnis ini akan memudahkan pelanggan menjangkau produk-produk yang dijual. Jelasnya: “Kami pilih Lombok karena dekat dengan bahan baku dan juga dekat dengan konsumen. Di sini cukup banyak hotel mulai dari bintang satu hingga bintang lima, produk kosmetik bisa dipasarkan untuk keperluan tersebut. Selain itu juga bisa dijual sebagai oleh-oleh. Salah satu tujuan pengembangan pabrik kosmetik rumput laut ini sebagai salah satu upaya diversifikasi produk olahan rumput laut yang selama ini hanya berfokus untuk olahan makanan saja. Dengan diversifikasi produk, maka nilai tambah dan juga pasar penjualan olahan rumput laut menjadi lebih luas. ***ADIT/Dps/Maritim