Jakarta, Maritim
AZAS Cabotage sebagai landasan Inpres No.5 tahun 2005, dilhat dari sisi jumlah kapal berbendera Indonesia, bisa dinilai relatif cukup berhasil. Namun, dari pertumbuhan industri maritim khususnya pembangunan kapal di galangan nasional dalam negeri, masih terdapat banyak masalah yang mengganjal. Ikatan Perusahaan Produsen Kapal & Sarana Lepas Pantai Indonesia (Iperindo) memperkirakan akibat masih dilakukannya impor kapal jadi (baru atau bekas pakai) guna meningkatkan jumlah armada nasional, ternyata memiliki dampak negatif terhadap cadangan devisa Indonesia.
Eddy Kurniawan Logam Ketua Umum Iperindo baru-baru ini menjelaskan: ”Akibat importasi kapal yang dilakukan perusahaan pelayaran dalam 12 tahun terakhir, penerapan asas cabotage sejak 2005 memang membuat perusahaan pelayaran domestik menggeliat. Alhasil, ekspansi dengan membeli kapal jadi dari luar negeri menjadi marak. Tetapi akibat kebijakan itu, maka devisa Indonesia mengalami penggerusan sekitar Rp.150 triliun. Industri pelayaran sejak diberlakukan azas cabogate itu sudah berinvestasi Rp.200 triliun dan paling tidak, sebesar Rp.150 triliun lari ke luar negeri karena impor kapal baru maupun bekas”.
Berdasar data Indonesia National Shipowners’ Association (INSA), jumlah armada kapal nasional pada 2016 mencapai 24.046 unit atau naik empat kali lipat dibanding dengan posisi 2005 sebanyak 6.041 unit. Hingga paruh pertama tahun ini, Badan Pusat Statistik (BPS) melansir impor kapal laut dan bangunan terapung dalam tahun 2017 mencapai US$.807,3 juta atau naik 126,26% dibanding dengan periode Januari-Juni 2016. Secara bulanan, pada Juni 2017 nilai impor kapal laut dan bangunan terapung menyentuh US$.229 juta atau naik 295,51% dibanding dengan posisi Mei 2017.
Menurut Eddy, industri galangan dalam negeri memiliki pekerjaan rumah yang cukup besar untuk membuat industri galangan menjadi efisien. Kendati demikian, dia berharap pemerintah juga memberi dukungan dalam bentuk stimulus fiskal maupun memesan kapal agar dierjakan oleh galangan kapal dalam negeri secara berkelanjutan. Eddy menekankan industri galangan merupakan lini usaha yang sarat modal dan risiko yang tinggi. Oleh karena itu, keberlanjutan bisnis sangat bergantung pada pesanan kapal baru. Adapun saat ini pesanan kapal untuk dikerjakan tahun depan belum sesuai harapan.
Di sisi lain, Iperindo berharap pemerintah segera membebaskan bea masuk untuk 115 komponen kapal, yang dinilai bisa mendorong efisiensi biaya pembuatan kapal di dalam negeri. Seperti diketahui, sampai dengan saat ini sebanyak sekitar 70% komponen kapal yang masih diimpor. ***ERICK A.M.