Jakarta, Maritim
Saat ini, sampah atau polusi laut telah jadi masalah global, yang membawa dampak sosial dan ekonomi yang merugikan. Sampah plastik dan sampah perkotaan di seluruh dunia telah membengkak hingga pada jumlah yang mengkuatirkan.
Bahkan dari satu penelitian, di beberapa wilayah pantai, plastik mikro di laut jumlahnya sudah lebih banyak ketimbang plankton. Perbandingannya mencapai 6:1.
“Untuk itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) melihat, perlu segara dilakukan upaya-upaya percepatan yang komprehensif dan terpadu untuk menanggulangi permasalah sampah plastik di laut,” kata Kepala Puslitbang Industri Hijau dan Lingkungan Hidup, Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI), Kemenperin, Teddy C Sianturi, saat jadi pembicara pada FGD ‘Industri Hijau yang Dibiayai Perbankan’, di Jakarta, kemarin.
Menurut Teddy, yang membawakan makalah, ‘Potensi Bisnis Ramah Lingkungan pada Sektor Industri Hijau’, karenanya Kemenperin akan berupaya memasukkan sektor industri hijau ini pada Rancangan Perpres Rencana Aksi Nasional (RAN) Pengolahan Sampah Plastik di Laut. Mengingat, berdasarkan Perpres No 28 tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional, untuk lingkungan dikatakan menjaga lingkungan berarti menjaga keseimbangan ekosistem. Memelihara sumber daya yang berkelanjutan, menghindari eksploitasi sumber daya alam dan memfungsikan pelestarian lingkungan.
Sementara berdasarkan UU No 3 tahun 2014 tentang Perindustrian disebutkan, kebijakan industri hijau adalah industri yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas pengguna sumber daya secara berkelanjutan. Sehingga mampu menyelaraskan pembangunan industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat memberi manfaat bagi masyarakat.
Sedangkan strategi yang dilakukan terhadap penerapan industri hijau itu, tambahnya, adalah menyangkut tiga hal pokok. Yaitu mengembangkan industri yang sudah ada menuju industri hijau. Kemudian membangun industri baru dengan prinsip industri hijau. Sehingga tercapai standar industri hijau sebagai wujud penerapan industri hijau.
“Jika itu sudah dilakukan, sasaran berikutnya meningkatkan daya saing, yang di dalamnya perlu sistem produksi yang esifisien dan diterima pasar, sehingga tercapai penurunan Gas Rumah Kaca (GRK),” urai Teddy.
Menyoal tentang usulan strategis RAN sektor industri, Teddy menyebutkan beberapa hal, seperti penyelenggaraan bimtek pemilihan sampah sebagai bahan baku industri daur ulang plastik. Kampanye peran industri degradable dan daur ulang, pembangunan pre-washing machine dan pengolahan air limbah hingga penyederhanaan regulasi dan tata kelola untuk industri limbah non B3 plastik pengelolaan sampah plastik.
“Saya berharap, standar industri hijau ini dapat jadi pedoman bagi perusahaan dalam menjalankan proses produksi yang efisien dan ramah lingkungan. Sehingga dapat jadi benchmark di dalam maupun luar negeri. Sekaligus menaikkan ekspor karena ramah lingkungan dan hemat biaya perusahaan yang sudah efisien,” ucap Teddy. (M Raya Tuah)