SEBAGAI negara kepulauan, Indonesia memiliki potensi sangat besar di bidang kemaritiman. Namun selama ini, potensi tersebut terlambat dikelola. Luhut Binsar Pandjaitan Menko Kemaritiman mengatakan pembentukan kemenko yang dipimpinnya kini tergolong telat. Padahal jika lebih awal didirikan, akan lebih banyak sumber daya kelautan yang dapat dieksploitasi.
“Pembentukan Kemenko Maritim ini terlambat, artinya baru zaman Pak Jokowi tahun 2014 [dibentuk]. Setelah saya masuk di dalam itu kita terlambat, seharusnya dari dulu dikelola dengan baik, maka akan banyak yang bisa dieksploitasi” ujarnya melalui siaran pers Kamis lalu.
Menurutnya, selama ini Indonesia “memunggungi” laut. Padahal 79% wilayahnya merupakan lautan. Lebih jauh Luhut menjelaskan, potensi ekonomi maritim tak kurang dari Rp17,69 triliun yang terdiri dari industri jasa maritim, aquakultur, industri non konvensional, pertambangan dan energi, serta lain-lain. Tetapi yang baru bisa dirasakan manfaatnya paling banyak baru 9%. Oleh karena itu, dia mengajak masyarakat Indonesia untuk bersama-sama menggali potensi ini.
“Jangan melulu hanya konflik internal. Banyak masalah yang harus kita selesaikan agar ekonomi tumbuh dan masyarakat sejahtera. Kita harus bertarung dengan dunia luar untuk meyakinkan investor untuk mau berinvestasi” tuturnya.
Pada kesempatan terpisah Susi Pudjiastuti Menteri Kelautan dan Perikanan yang dikenal sangat konsern dalam urusan kemaritiman, menyatakan keingiannya agar bandara dan pelabuhan di titik-titik terluar Indonesia dibangun untuk lebih memacu ekspor produk perikanan segar di tengah sumber daya ikan yang melimpah. Menurut dia, sulit memacu perdagangan ikan segar ke luar negeri selama produk harus dikirim melalui hub di Makassar atau Jakarta. Pendiri maskapai Susi Air itu memberi gambaran, hasil tangkapan dari Maluku kini masih transit di Bitung, Sulawesi Utara, kemudian dikirim ke Makassar Sulawesi Selatan, baru dikapalkan ke Davao, Filipina, dengan waktu tempuh 8 jam.Padahal, waktu pengiriman bisa ditekan menjadi 1 jam jika diterbangkan langsung dari Maluku.
Akibat jalur pengapalan, sebagian besar ekspor tuna dan cakalang dari wilayah itu masih berupa produk beku. Hal serupa juga terjadi pada hasil tangkapan dari perairan Kupang yang harus dikapalkan lebih dulu ke Benoa Bali atau Tanjung Priok Jakarta. Pada hal, jika dikirim dalam bentuk segar (sashimi grade), harga yang dinikmati eksportir atau nelayan bisa lebih tinggi US$12-US$15 per kilogram. Ujanya saat memaparkan kinerjanya pada acara
Tiga Tahun Pemerintahan Jokowi-JK di Kantor Staf Presiden: “Hendaknya kita buka outliner di utara dan selatan, terutama di timur ke hub utara terluar terdekat. Saya pernah minta ke Menko Maritim supaya Menhub laksanakan itu”.
Menurutnya, setidaknya ada 15 pelabuhan di pulau terluar yang dapat dijadikan sebagai gateway eksportasi hasil perikanan, antara lain Kupang untuk ekspor ke Darwin, Australia, Merau ke-Cairn, dan Bitung ke-Davao/Cebu. Susi menyebutkan stok sumber daya ikan meningkat dari 7,3 juta ton pada 2013 menjadi 12,5 juta ton pada 2016 berkat upaya memberantas penangkapan ikan secara ilegal.
Sementara itu, dari sisi pelaku bisnis perikanan, muncul keinginan agar pemerintah memperbaiki data perikanan menyusul kejanggalan angka konsumsi domestik, dibanding dengan produksi. Menilik angka konsumsi ikan per kapita 2015 yang sebesar 41,1 kg per tahun, dengan jumlah penduduk 258,2 juta jiwa, maka konsumsi nasional 10,6 juta ton. Ditambah dengan ekspor ikan sebanyak 1,1 juta ton, maka output perikanan diperkirakan Indonesia mencapai total 11,7 juta ton. Pada hal, di sisi lain produksi perikanan tangkap dan budidaya hanya 10,9 juta ton sehingga bilamengacu pada angka yang diklaim pemerintah, terdapat defisit 800.000 ton.
“Hal ini tidak masuk akal karena kalau kita hitung jumlah keseluruhan produkikan, ini menunjukkan adanya defisit. Karena itu, kamimita agar pemerintah lakukan pembenahan data, supaya kebijakannya tidak bias” ujar Hendra Sugandhi, Sekjen Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin) dalam Rembuk Nasional 2017, Senin (23/10/2017).
Kejanggalan juga berlanjut ke tahun 2016, ketika terdapat defisit hampir 500.000 ton jika membandingkan data konsumsi domestik + ekspor yang mencapai 12,3 juta ton dengan produksi yang hanya 11,8 juta ton. Hendra juga menyoroti target ekspor produk perikanan yang naik terus, tetapi selalu gagal dicapai.
Tahun 2016 lalu misalnya, realisasi ekspor hanya tercapai senilai US$4,2 miliar dibanding target yang dittetapkan US$6,8 miliar. Sementara itu, selama semester I/2017, nilai pengapalan hanya menyentuh angka hampir US$2 miliar dari target tahun ini US$7,6 miliar.
“Atas dasar itu semua, maka kami minta agar targetnya harus direvisi supaya lebih realistis,” pungkas Hendra.***ERICK A.M.