JAKARTA, MARITIM.
Indonesia menargetkan tahun 2030 mendatang akan menjadi negara ekonomi nomor 7 terbesar di dunia. Mimpi itu akan bisa terwujud bila ada pasokan tenaga kerja terampil sebanyak 3,7 juta/tahun dari 2016-2030. Terdiri dari 1,59 juta tenaga ahli, 0,46 juta teknisi/analis, dan 1,85 juta tenaga operator/pelaksana per tahun, yang semuanya harus tersertifikasi.
Dengan tambahan tenaga kerja terampil 57 juta, pada 2030 Indonesia akan memiliki 113 juta tenaga kerja terampil yang juga harus menguasai perkembangan teknologi. Tanpa ada pasokan 3,7 juta tenaga kerja terampil per tahun, ekonomi Indonesia yang kini di peringkat 36, sulit akan naik ke nomor 7 dunia.
Masalah ini mengemuka dalam diskusi ketenagakerjaan bertajuk ‘kerjasama pemerintah dan dunia industri tingkatkan kompetensi tenaga kerja melalui pelatihan di BLK dan program pemagangan’ di Jakarta, Rabu (22/11). Dibuka Sekjen Kemnaker Herry Sudarmanto, diskusi menampilkan Dirjen Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas (Binalattas) Kemnaker, Bambang Satrio Lelono, dan Ketua Kompartemen Ketenagakerjaan Kadin Indonesia, Bob Azam, sebagai narasumber.
Terpana dengan rencana pasokan 113 juta tenaga kerja terampil itu, wartawan yang ikut dalam diskusi lantas mempertanyakan langkah pemerintah untuk mewujudkan mimpi itu. Hal ini didasarkan atas data angkatan kerja saat ini 131,55 juta, tambahan angkatan kerja baru sebanyak 2 juta per tahun, sedang jumlah penganggur mencapai 7,04 juta.
Di sisi lain, Dirjen Binalattas menyebutkan, dari 301 BLK (Balai Latihan Kerja) di seluruh Indonesia, hanya 26 yang dikelola UPTP (Unit Pelaksana Teknis Pusat), sedang selebihnya dikelola UPTD (Kabupaten/Kota). Dari 301 BLK itu, hanya 82 yang kondisinya baik (17 di antaranya dikelola Kemnaker). Lainnya, 116 BLK dalam kondisi sedang dan 104 BLK kondisinya buruk. Sementara 215 kabupaten/kota belum memiliki BLK.
Berdasarkan anggaran (APBN/APBD), kapasitas semua BLK itu maksimal mampu melatih 275.000 orang/tahun, tapi realisasinya tahun ini hanya melatih 130.000 orang. “Tahun 2018 akan meningkat jadi 150.000 orang,” ujar Bambang.
Menurut Dirjen, mutu pelatihan BLK harus ditingkatkan. Angka itu akan meningkat jika BLK yang kondisinya sedang dan buruk direvitalisasi, sehingga kapasitasnya bisa maksimal. Untuk membangun sebuah BLK memang biayanya cukup besar. Misalnya membangun BLK maritim dan manufactur di Batam dibutuhkan biaya Rp 400 miliar.
“Tapi kalau hanya merevitalisasi BLK di daerah sesuai kejuruan yang dibutuhkan, dengan biaya Rp 10 miliar juga bisa,” ujarnya.
Namun Pemda jangan minta semua biaya revitalisasi BLK dari pusat. Yang pasti, Pemda harus fokus pada kebutuhan sentra-sentra ekonomi baru dan potensi yang ada di daerahnya. Kabupaten/Kota yang belum mempunyai BLK juga harus diusahakan agar memiliki BLK sendiri.
Kekurangannya, Bambang mengharapkan partisipasi dari swasta. Baik industri melalui CSR (Corporate Social Responsibility), kursus-kursus atau LPK (Lembaga Pelatihan Keterampilan) yang jumlahnya mencapai 8.000-an, training centre, maupun melalui sebagian dana desa. “Sudah ada beberapa Pemda yang memanfaatkan dana desa untuk melatih warganya,” tambahnya.
Dampak digitasi dan automasi
Dalam kesempatan itu, Ketua Kompartemen Ketenagakerjaan Kadin Bob Azam mengatakan, jumlah penganggur terbanyak saat ini dari lulusan SMK (12,6%) dan SMA (10,2%). Mereka yang termasuk angkatan kerja baru dan jumlahnya mencapai 2 juta/tahun, tidak bisa langsung terserap di pasar kerja karena rendahnya keterampilan.
Menurut dia, untuk mendapatkan pekerjaan mereka harus diberi latihan keterampilan tambahan dengan biaya cukup besar. “Kalau yang dilatih 1,5 juta dengan biaya Rp 5 juta per orang, maka butuh biaya Rp 7,5 triliun,” ujarnya.
Guna menjembatani masalah ini, Bob Azam berpendapat pola pendidikan SMK diubah dengan banyak belajar di industri dan hanya belajar sedikit di kelas. Yang paling penting mereka harus mendapat sertifikasi.
Untuk mengubah hal ini tentu perlu waktu lama. Sebagai solusinya, Kemnaker-Kadin dalam waktu dekat segera melakukan kerjasama untuk melatih 4.000 calon instruktur di sejumlah industri. Ke-4.000 instruktur baru itu akan melatih sekitar 400.000 orang
yang magang di perusahaan tersebut untuk mendapat pekerjaan.
Di sisi lain, Bob mengingatkan kondisi pasar ketenagakerjaan yang rentan terhadap perkembangan digitasi dan automasi. Di ASEAN, Vietnam disebut sebagai negara yang memiliki risiko tertinggi terhadap digitaasi dan automasi, sedangThailand tingkat risikonya terendah.
Untuk Indonesia, 56% dari pekerjaan yang ada saat ini, mempunyai risiko tidak diperlukan lagi dalam dua dekade ke depan. “Jadi, dampak penerapan digitasi dan automasi, pelajaran yang sekarang ini dalam dua dekade ke depan tidak dibutuhkan lagi,” tambahnya. **Purwanto.