JAKARTA, MARITIM.
Menteri Ketenagakerjaan M. Hanif Dhakiri mengadakan rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI, Rabu (7/2). Dalam raker yang dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi IX DPR Syamsul Bachri (F-PG), Menaker menjelaskan masalah moratorium terbatas penempatan TKI ke luar negeri dan perpanjangan MoU penempatan yang telah habis masa berlakunya.
Hanif menjelaskan latar belakang moratorium adalah belum adanya UU mengenai perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) di negara penempatan dan belum adanya mekanisme penyelesaian masalah PMI di negara penempatan. Juga banyaknya kasus-kasus yang terjadi di negara penempatan serta belum optimalnya tata kelola PMI di Indonesia.
“Tujuan pemberlakukan moratorium adalah perbaikan tata kelola perlindungan PMI di Indonesia, mendorong negara tujuan penempatan untuk memperbaiki aturan/tata kelola penempatan dan perlindungan pekerja asing dan memiliki mekanisme penyelesaian masalah PMI,” katanya,
Menaker menjelaskan, pemberlakukan moratorium TKI ini sesuai amanat pasal 31 UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) yang menyatakan penempatan PMI hanya dapat dilakukan ke negara tunjuan penempatan yang telah memiliki peraturan perundangan yang melindungi tenaga kerja asing, perjanjian bilateral dan jaminan sosial.
Moratorium yang ditindaklanjuti dengan Kepmen (keputusan mentreri) No. 260/2015, hingga kini tetap berlaku dan tidak akan dibuka. Namun akan dilakukan review dan re-negosiasi MoU dengan negara tujuan penempatan. Langkah berikutnya, kesepakatan membangun sistem penempatan dan perlindungan melalui one channel system antara Indonesia dengan negara tujuan penempatan, serta memperkuat kapasitas Atase Ketenagakerjaan (Atnakek) di negara setempat.
Hanif menjelaskan, 19 negara yang terkena moratorium adalah Arab Saudi, Aljazair, Bahrain, Kuwait, Irak, Lebanon, Libia, Maroko, Mauritania, Mesir, Oman, Sudan, Qatar, Palestina, Suriah, Tunisia, Persatuan Emirat Arab (PEA), Yaman dan Yordania.
Terkait peningkatan kapasitas Atnaker, Menaker menegaskan, pihaknya akan terus meningkatkan status dari staf teknis menjadi atase (diplomat). “Tadinya kita hanya punya empat atase, sekarang ada tambahan sembilan atase. Jadi total ada 13. Ini perkembangan bagus karena statusnya sudah lebih baik, ” jelasnya.
Peningkatan kapasitas lainnya adalah menambah jumlah staf pada atase ketenagakerjaan sesuai dengan beban tugas karena di negara-negara tertentu stafnya sangat sedikit, sementara yang diurus sangat banyak. “Di Hongkong ada 200.000 tenaga kerja, stafnya hanya 1 orang dan 2 staf lokal. Urusi 200 ribu berat sekali,” ujarnya.
Kemnaker juga berencana menambah jumlah atase ke negara yang memiliki intensitas hubungan ketenagakerjaan tinggi dan negara tujuan penempatan PMI, Misalnya Swiss atase ketenagakerjaan karena Indonesia satu-satunya negara ASEAN yang tidak memiliki Atase di Jenewa. Di Jepang juga banyak yang bekerja melalui IJEPA dan pemagangan, tapi tak punya Atase Ketenagakerjaan.
“Sementara Malaysia kondisi di negara bagiannya spesifik. Jadi perlu penambahan Atase untuk wilayah Serawak, Penang dan Johor. Begitu juga Australia dan beberapa negara lain,” sambungnya.
**Purwanto.