DALAM kunjungan ke NTT, Budi Karya Sumadi Menhub, sempat janjikan bangun
dermaga sebagai tempat sandar kapal-kapal penghubung Gili Trawangan – Bali
(Maritim, Selasa 20/3/2018). Untuk lebih tahu obyek wisata itu, ikuti laporan berikut:
LOKASI wisata identik dengan tiket masuk yang harus dibayar pengunjung. Namun, hal itu tak berlaku di Gili Trawangan. Diakui, sektor pariwisata mampu memajukan perekonomian suatu daerah, dan jadi “tambang” retribusi PAD. Namun, di desa Gili Indah, Lombok Utara, NTB yang wilayahnya meliputi Gili Air, Gili Trawangan, dan Gili Meno, tak dikenal bayar tiket. Padahal tiap hari ribuan wisatawan datang, dari Bali dengan kapal cepat atau penerbangan ke Bandara Internasional Lombok.
Gili Indah memiliki luas daratan 678 hektar dengan jumlah penduduk 5.100 jiwa/1.113 KK. Di sini terdapat hotel-hotel bintang dan restoran pendukung pariwisata, tetapi pemerintah setempat tak menarik retribusi kepada wisatawan yang berkunjung. Ujar Muhamad Kepala DesaGii Iah: “Kami juga tak pungut retribusi usaha hotel maupun restoran, mereka hanya dikenai pajak dari Pemkab. Pihak Desa Gili Indah tak pungut retribusi karena tak ingin ada keluhan pengusaha yang telah bayar pajak ke pemerintah. Dulu kami pernah memungut sumbangan tak mengikat dari pihak ketiga. Namun banyak keluhan, hingga kami tiadakan. Kami cukup dapat bagi hasil dari Pemkab”.
Dari 33 desa di Kabupaten Lombok Utara, Gili Indah dapat pembagian hasil pajak daerah terbesar, hingga Rp.4 miliar/tahun. Untuk 2018, ditargetkan dapat Rp.5 – Rp.6 miliar. Kata Taufik, jumlah itu mencukupi, karena kalau terlalu banyak justru ribet mengelola Utamanya dalam menghadapi audit, sebab SDM di desa itu diakui masih kurang. Bila terjadi kesalahan penggunaan anggaran, perangkat desa akan ikut terkena masalah. Penghasilan Pemkab Lombok Utara dari sektor pariwisata mencapai 70%, dengan 45% di antaranya berasal dari Gili Indah. Selain menerima bagi hasil pajak, Desa Gili Indah juga dapat dana desa Rp.879 juta dan alokasi dana desa Rp.900 juta. Dengan tak adanya retribusi, semua wisatawan ke Gili Trawangan, Gili Air, dan Gili Meno tak dikenakan pembelian tiket alias gratis. Menurut Taufik jika mau menerapkan retribusi, potensinya besar karena pengunjung di hari biasa minimal 1.500 orang dan saat ramai bisa 4.000 hingga 5.000 orang per hari.
Sebagai desa mandiri, Gili Indah tengah kembangkan dua BUMDes Mart, sejalan larangan Pemkab terhadap berdirinya toko waralaba. Sesuai aturan dari pemkab, Rp100 juta bisa digunakan pengembangan BUMDes, bekerja sama dengan Karang Taruna. Pihaknya juga dapat tawaran mengelola air bersih dari daratan yang disalurkan menggunakan pipa bawah laut, dengan biaya sekitar Rp220 miliar.
Dalam pemberdayaan masyarakat, desa wisata dunia ini memiliki beberapa koperasi, untuk transportasi laut ada koperasi Karya Bahari, untuk transportasi darat berupa andong dan ada koperasi Jalur Indah. Juga terdapat koperasi simpan pinjam di Gili Air, yang membantu peningkatan ekonomi masyarakat. Tiga pulau di Gili Indah sebagai tujuan wisata, punya ciri khas masing-masing. Rerata pengunjung terdiri dari turis asing, terutama di Gili Trawangan yang disebut island party untuk anak muda yang suka hiburan. Gili Air dikenal sebagai midle party, sedang Gili Meno merupakan honey moon party bagi yang baru menikah atau manula bernostalgia. Kraena di pulau ini tak ada hiburan, mereka datang hanya untuk bersantai. Di ketiga pulau tak ada kendaraan bermotor. Alat transportasi hanya sepeda dan andong. Kata Taufik: “Kami tak ijinkan kendaraan bermotor digunakan di sini, karena akan menghilangkan ciri khas”.
Ketenaran Gili Indah, diawali tahun 1985, ketika beberapa wisatawan Jerman dan Swiss mulai masuk Gili Trawangan. Mereka tertarik keindahan bawah laut, kemudian mempromosikan. Waktu itu mereka menginap di rumah-rumah penduduk dengan fasilitas seadanya. Karena waktu itu belum ada listrik. Lmpu yang gak “moderen” belum ada, penerangan digunakan lampu minyak jarak. Tetapi mereka senang. Warga tak ada yang mampu berbahasa Inggris, maka komunikasi hanya pakai bahasa isyarat.
Seiring meningkatnya wisatawan, masyarakat mulai berpikir turis ini perlu fasilitas. Untuk itu, masyarakat membangun bungalow berdinding kayu dan fasilitas seadanya, yang disewakan dengan tarif Rp1.000 – Rp1.500/malam, dapat 3 kali makan, berlauk ikan dan daging ayam.
Mata pencarian penduduk tiga pulau itu awalnya nelayan dan petani kelapa. Kini seluruh warga Gili Indah terjun ke pariwisata. Di Giri Indah tak ada pengangguran, 99% masyarakat bekerja dan secara ekonomis kecukupan. Kalau semula hanya karyawan kini punya usaha sendiri, punya fast-boat untuk menjemput tamu yang mau datang ke tempat itu. Pekerja di tempat itu bukan hanya orang Gili Indah, mengacu peraturan bahwa perusahaan harus pekerjakan 40% orang Gili Indah, sedang 60% lainnya dari luar desa.
“Kelihatannya timpang, tetapi kami tak rasakan itu, karena disesuaikan skill dan pendidikan mereka, yang rerata hanya SMA/SMK, maka kami masukkan dalam perdes itu hanya 40% untuk orang dalam, karena tak mungkin tamatan SMA jadi manajer” jelas Taufik.
Kemajuan pariwisata dengan mayoritas kunjungan wisman, tentu bisa berdampak negatif. Antara lain kalau dulu warga tak kenal kehidupan malam, kini ada bar dan pub. Muhammad Taufik katakan dampak negatif harus disikapi serius, untuk antisipasi hal-hal tak diinginkan. Jelas Kades Gili Indah: “Alhamdulillah berkat bimbingan babinsa dan kepolisian, warga kami baik-baik saja. Tentu ada juga yang “nakal”, tetapi tak banyak, karena warga sibuk mengurus usaha mereka”. ***ERICK ARHADITA