Jakarta, Maritim
Pada 2025, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional diperkirakan akan tumbuh 5%. Bahkan, kalau hal itu bisa dipertahankan, maka kontribusi pasar tekstil Indonesia untuk dunia diprediksi bisa jadi 2,5-3%. Dibanding sebelumnya hanya 1,6%.
“Kalau kapasitas nasional pada proses dyeing finishing printing ditambah 2 juta spindel, maka pada 2025, industri tekstil bisa tumbuh rata-rata 5%. Kalau bisa 5%, maka pada 2025 kontribusi pasar tekstil kita di dunia bisa 2,5-3%, dari sebelumnya hanya 1,6%,” kata Dirjen Industri Kimia, Tekstil dan Aneka (IKTA) Kemenperin, Achmad Sigit Dwiwahjono, didampingi Direktur Industri Tekstil, Kulit, Alas Kaki dan Aneka, Muhdori, kepada wartawan, kemarin.
Apalagi, tambahnya, Roadmap Tekstil hingga 2025 mengamanatkan kapasitas itu perlu ditingkatkan lagi. Terutama di sektor hulu dan intermediate. Di mana sektor hulu ini untuk kepentingan bahan baku sampai ke hilirnya.
Menurut Sigit, evaluasi perkembangan industri TPT nasional yang dicermati mulai tahun 2016 hingga kini telah menunjukkan peningkatan yang positif, dengan diterbitkan kebijakan Tata Niaga Impor. Berdasarkan hasil ratas pimpinan Presiden Joko Widodo, yang ditindaklanjuti dengan kebijakan Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian.
Di tahun 2015, sambungnya, industri TPT nasional tumbuh -4,79%. Lalu pada 2016 meroket jadi -0,13%. Terlihat terjadi pertumbuham 4% pada saat itu. Kemudian dari tahun 2016 ke tahun 2017, industri TPT nasional kondisinya sudah mulai surplus. Yakni mencapai 3,76%.
“Pertumbuhan industri TPT nasional yang sangat signifikan itu terjadi karena pemerintah mengeluarkan kebijakan Tata Niaga Impor. Yakni suatu pengendalian tata niaga impor oleh pemerintah. Bahwa impor hanya boleh dilakukan untuk perusahaan produsen. Sehingga produksi dalam negeri tidak terganggu. Kendati dari yang diimpor itu ada juga untuk kepentingan ekspornya,” ungkapnya.
Dengan demikian, jelas Sigit, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah (Kemenperin dan Kemendag-red) sudah benar arahnya (on the track). Sehingga industri TPT nasional siap untuk tinggal landas.
Saat ini, Kemenperin tengah mendorong industri hulu tekstil untuk memproduksi kebutuhan bahan baku tekstil berbasis dissolving pulp, MEG dan caprolactam. Hal itu penting untuk kepentingan produksi filament yarn di sintesis fiber.
Di sisi lain, Kemenperin juga tengah berupaya agar perbankan nasional memberikan pendanaannya di industri TPT nasional.
“Sudah waktunya perbankan nasional memberikan kredit investasi ke sektor industri tekstil. Apalagi, industri TPT nasional saat ini adalah yang paling siap menghadapi industri 4.0. Jadi sektor ini bukan lagi masuk kategori sunset industry,” ucapnya. (M Raya Tuah)