Jakarta, Maritim
Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) memperkirakan, permintaan Presiden Jokowi agar target ekspor mebel dan kerajinan nasional mencapai US$5 miliar pada akhir 2019 sepertinya akan sulit terealisasi.
Pasalnya, penghambat dari pencapaian target ekspor mebel dan kerajinan Indonesia itu justru datangnya dari pemerintah sendiri, dengan diterbitkannya berbagai peraturan oIeh 3 menteri sebagai di bawah pembantu Presiden.
“Salah satu peraturan yang sangat jadi beban itu adalah pemberlakuan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) di hilir,” tegas Sekjen HIMKI, Abdul Sobur, di sela-sela Rapat Kerja Nasional (Rakernas) HIMKI, yang mengambil tema ‘Konsolidasi HIMKI Menghadapi Tantangan Global Membahas Permasalahan yang Melemahkan Daya Saing Industri Mebel dan Kerajinan Nasional serta Mencari Solusi yang Harus Dilaksanakan’, di Jalarta, Selasa (15/5).
Jika tidak ada perhatian dari pemerintah, ancam Sobur, HIMKI akan mengembalikan target ekspor produk mebel dan kerajinan senilai US$5 miliar pada 2019 itu kembali kepada Presiden Jokowi.
Sebenarnya, pemberlakuan SVLK itu adalah salah satu dari sekian banyak kebijakan yang kontraproduktif yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sehingga industri mebel dan kerajinan Indonesia kurang berkembang dan tidak memiliki daya saing di pasar global.
“Maka dari itu, kami mendesak pemerintah agar pemberlakuan SVLK itu segera dihapuskan saja, karena tidak bermanfaat. Malahan mengganggu kinerja ekspor produk mebel dan kerajinan nasional. Belum lagi soal tata kelola bahan bakuny,” ungkap Sobur.
Akibatnya, harga bahan baku bagi industri kayu tidak kompetitif, jika dibandingkan negara pesaing Indonesia. Karena untuk mengurus SVLK dan beberapa ijin pendukungnya diperlukan biaya yang sangat besar.
Penerapan kebijakan SVLK berdampak pada tidak maksimalnya kinerja ekspor nasional. Padahal saat ini industri mebel dan kerajinan tengah bersaing ketat dengan pelaku industri mebel internasional. Seperti Malaysia, Vietnam, China dan negara-negara produsen di kawasan Eropa dan Amerika.
Yang aneh, lanjutnya, Indonesia merupakan satu-satunya negara yang mewajibkan eksportirnya menerapkan SVLK. Sementara negara-negara produsen lain tidak mengenakan.
“SVLK itu kan sifatnya voluntary. Tapi pemerintah kita malah menerapkan aturan wajib. Ini apa-apa kan,” katanya heran.
Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi dan Hubungan Antar Lembaga HIMKI, Wiradadi Suprayogo, menambahkan SVLK telah membelenggu kinerja anggota HIMKI.
Bahkan, SVLK bukan lagi jadi karpet merah untuk ekspor mebel dan kerajinan nasional, tapi sudah jadi lampu merah bagi kinerja ekspor nasional.
“Saya punya keyakinan, 80% hambatan ekspor mebel dan kerajinan kita ada di regulasi itu,” ujarnya.
Masalah lain, masih ada pihak-pihak yang menginginkan dibuka lagi ekspor log dan bahan baku rotan, dengan berbagai alasan. Karena menganggap lebih praktis dan menguntungkan ekspor bahan baku ketimbang ekspor barang jadi berupa mebel dan kerajinan.
“Sebenarnya kami telah mengajukan hambatan-hambatan itu kepada Kementerian Perdagangan dan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Namun dua instansi pemerintah itu masih juga bersikap acuh,” tandas Wira. (M Raya Tuah)