Semarang, Maritim
AKIBAT “tersenggol” Peraturan Menteri Kelautan & Perikanan Nomor 41 Tahun 2014 terkait larangan memperjualbelikan ikan berbahaya, termasuk arapaima, rerata pedagang ikan hias di Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng) terpaksa mengalami paceklik. Kendati masih cukup banyak permintaan dari kalangan penggemar ikan air tawar kelas premium itu, tetapi pasar menjadi kian ditinggal peminat.
Kondisi seperti itu,antara lain dialami oleh Welly, pedagang ikan hias di Jl. KH. Agus Salim, Kota Semarang, yang mengaku semenjak larangan peredaran 152 jenis ikan berbahaya dan invasif di Indonesia itu diintensifkan, dagangannya menjadi sepi. Padahal, selama ini ikan arapaima termasuk salah satu yang paling digemari pengemar ikan hias atau penghobi. Ujar Welly saat ditemuii di kios Fish Aquarium Pasar Ikan Hias: “Akhir-akhir ini, akibat adanya penegakan aturan Kemen KP No.41/2014 itu sangat berpengaruh terhadap penjualan”.
Dikatakan pula, adanya penegakan aturan itu tak hanya membuat pedagang takut. Kalangan pembeli juga enggan membeli arapaima. Menurutnya sejak 20 tahun berjualan arapaima, baru kali ini dikejutkan dengan larangan tersebut. Katanya “Kami juga takut terkena razia, karena tak ada ganti rugi dari dinas”.
Selama ini Welly menggantungkan hidup dari bisnis penjualan ikan arapaima yang berasal dari Sungai Amazon yang diakui memiliki daya tarik khusus. Akunya: “Saya punya 13 ekor arapaima kecil-kecil ukuran 40 sentimeter, dengan harga ikan arapaiman Rp.2,5 juta per ekor. Baru-baru ini terpksa saya jual dengan “harga banting” ke pelanggan dari Jepara”.
Menurutnya, sebelum adanya penegakan larangan penjualan ikan yang dianggap berbahaya dari luar negeri itu, dirinya kerap meraup untung besar. Selain Araipama, Welly juga menjual ikan Aligator Gigas, Aligator biasa dan ikan ninety nine. Harga ninety nine ukuran kecil biasa dibanderol Rp700.000 per ekor. Ujarnya: “Namanya hobi enggak bisa ditahan. Berapa pun harganya pasti dibeli. Tapi, ya karena terbentur peraturan menteri, mau bagaimana lagi”.
Masih menurut Welly, sepekan terakhir, sejak adanya penegakan larangan penjualan ikan arapaima, omzetnya turun sampai 60%. Lebih lagi, selama ini dirinya sangat mengantungkan pendapatan dari berjualan ikan jenis predator.
Senada diungkapkan oleh Susana, pedagang arapaima lainnya di Pasar Ikan Hias Kota Semarang. Susana sudah sepekan terakhir tak jualan ikan predator tersebut. Bebernya:
“Sudah saya pesan dari Tulungagung, tetapi enggak pernah lagi dikirim”.
Penegakan aturan pelarangan peredaran ikan berbahaya dari luar negeri, termasuk arapaima, memang terus digencarkan pemerintah sepekan terakhir. Hal itu menyusul ditemukannya ikan arapaima di Sungai Brantas, Mojokerto. Ikan arapaima terebut diduga milik penghobi yang sudah tak mampu memberi makan ikan jenis predator itu.***MRT/2701