Jakarta, Maritim
Pelaut Indonesia yang bekerja di kapal nasional dan internasional harus meningkatkan profesionalisme dan keahlian agar mampu bersaing dengan pelaut dari negara lain. Di sisi lain, pelaut harus berhati-hati dalam menerima tawaran pekerjaan agar tidak menjadi korban human trafficking, begitu juga jangan terlibat jaringan narkoba dan kegiatan terorisme yang kini gencar diberantas.
“Banyak kapal perikanan yang dimanfaatkan jaringan internasional untuk mengedarkan narkoba di Indonesia. Ini harus diwaspadai dan dihindari,” kata Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) M. Zulficar Mochtar ketika membuka Rakernas Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) di Jakarta, Jumat (27/7/2018).
Rakernas selama dua hari yang bertema “To Build Union Capacity” itu diikuti semua Pengurus Pusat & Cabang KPI se Indonesia. Tujuannya antara lain menetapkan program kerja internal KPI dan rekomendasi/resolusi yang ditujukan kepada pemerintah sebagai regulator.
Dirjen mengingatkan banyak pelaut menjadi korban trafficking, terutama di kapal-kapal perikanan asing, sehingga mereka sering menghadapi masalah di luar negeri. Ini terjadi karena mereka direkrut oleh perusahaan yang tidak bertanggung jawab dan tidak dilengkapi PKL (Perjanjian Kerja Laut) yang jelas.
Menurut Zulficar, nasib pelaut Indonesia yang bekerja di kapal-kapal perikanan masih memprihatinkan, karena tidak mendapat perlindungan dan kesejahteraan yang layak. Bahkan sering mendapat perlakuan yang tidak manusiawi, dan gajinya di bawah standar.
Untuk mengatasi hal ini, rekruting pelaut harus dilakukan oleh perusahaan resmi serta wajib menaati prosedur dan ketentuan yang ditetapkan pemerintah. Sehingga mereka mendapat perlindungan yang maksimal dan kesejahteraan yang memadai.
Di sisi lain, KPI sebagai organisasi yang melindungi pelaut harus memperkuat bargaining dalam memperjuangkan hak-hak pelaut yang kemudian dituangkan dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) atau CBA (Collective Bargaining Agreement).
Terkait hal ini, Ketua Umum KPI Prof. Dr. Mathias Tambing mengatakan pihaknya perlu meningkatkan sinergi dan kemitraan dengan kementerian terkait, maupun perusahaan yang merekrut pelaut. Hal ini diperlukan untuk meminimalisir permasalahan yang dihadapi pelaut.
“Dalam merekrut pelaut harus dilengkapi dokumen yang ditetapkan dan wajib mengikuti prosedur yang benar. Perusahaan yang melakukan pelanggaran wajib ditindak tegas,” pintanya.
Dalam pembukaan Rakernas itu, Mathias Tambing juga minta KKP untuk melanjutkan penertiban terhadap kapal-kapal illegal fishing yang beroperasi Indonesia. Selain kapalnya banyak tidak memenuhi syarat, gaji pelautnya juga di bawah standar.
Tentang hal ini, Dirjen Perikanan Tangkap menegaskan pihaknya terus menindak tegas dengan menenggelamkan kapal-kapal illegal fishing yang melanggar aturan. Tindakan tegas tidak dilakukan sembarangan, tapi berdasarkan keputusan pengadilan dan juga mempertimbangkan hak azasi manusia.
Rancu dan tumpang tindih
Secara terpisah, Wakil Presiden KPI Capt. W.S. Trisno menilai, perlindungan dan kesejahteraan pelaut belum maksimal karena adanya kerancuan dan tumpang tindihnya penanganan pelaut. Mestinya, perlindungan dan kesejahteraan pelaut ditangani oleh Kementerian Ketenagakerjaan sebagaimana ketentuan ketenagakerjaan internasional, tapi selama ini dilakukan oleh Direktorat Perkapalan dan Kepelautan Ditjen Perhubungan Laut atau Syahbandar sebagai UPT di lapangan.
Mengacu UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, PKB yang ditandatangani serikat pekerja dan pengusaha wajib disahkan dan didaftarkan pada instansi yang menangani ketenagakerjaan. Tapi yang terjadi selama ini, PKB/CBA yang ditandatangani perusahaan pelayaran disahkan oleh Ditkapel (Ditjen Hubla), termasuk PKL yang menjadi pegangan pelaut, dengan mengacu pada KUHD, UU 17/2008 tentang Pelayaran maupun peraturan teknis di bawahnya.
Sementara itu, Ketua KPI Cabang Makasar P. Tarigan mengatakan, KPI wajib ikut memperluas kesempatan kerja di kapal dengan menempatkan pelaut yang berkualitas. Melalui pelatihan singkat, KPI bisa meningkatkan keahlian pelaut sesuai bidangnya, sehingga pelaut Indonesia mampu bersaing di tingkat global.
“Berdasarkan data Kemenhub, jumlah pelaut berkompetensi yang terdaftar hampir mencapai satu juta. Tapi yang jadi anggota KPI hanya 25.000. Sebagai negara maritim terbesar di dunia, jumlah ini sangat kecil dan memalukan dibanding Filipina,” ujarnya.
Melalui Rakernas, Tarigan berharap selain meningkatkan kapasitas pengurus juga diharapkan agar para pengurus KPI dapat lebih fokus dalam memberikan pelayanan dan perlindungan maupun pembinaan kepada para pelaut anggota KPI secara lebih maksimal yang bertujuan untuk mempersiapkan pelaut yang berkualitas, terlindungi dan sejahtera.
*** Purwanto.