Jakarta, Maritim
Nasib garam tradisi masih di persimpangan jalan. Garam yang tidak diproses fortifikasi yodium tidak dapat diedarkan secara luas. Karena kebijakan pemerintah hanya mengakui garam beryodium sebagai garam konsumsi.
Namun di sisi lain, keunikan cara produksi garam tradisi telah membuahkan sertifikat Indikasi Geografis (IG) dari Kemenkumham, karena memiliki nilai dagang. Seperti garam artisan asal Amed, Bali Utara, yang telah memiliki sertifikat IG.
“Diperlukan pengecualian untuk garam seperti ini. Karena dapat menjadi sumber pendapatan yang layak bagi petambak garam. Garam ini harganya bagus. Lebih mahal dari garam dapur biasa,” tegas Asisten Deputi Bidang Sumber Daya Mineral dan Energi Non Konvensional Kemenko Kemaritiman, Amalyos Chan, pada Rapat Koordinasi Fasilitasi Perizinan Ekspor Produk Garam Artisan di Kuta, Bali 6-7 Desember 2018, melalui siaran pers, di Jakarta, Sabtu (8/12).
Menurutnya, garam jenis ini sudah ada permintaan dari segmen tertentu, misalnya bagi kebutuhan sajian gourmet. Yang selama ini banyak masuk melalui impor, untuk kebutuhan khusus penderita penyakit auto imun dan autism, yang membutuhkan garam organik.
“Celah pasar ini sebaiknya diisi oleh garam produksi dalam negeri, untuk menjaga kearifan lokal, daripada diisi oleh produk impor,” ungkapnya.
Celah pasar garam seperti ini bukan untuk masyarakat luas, melainkan untuk segmen tertentu, karena dihasilkan dengan teknik khusus. Lebih rumit dan memiliki kekhasan rasa. Sehingga harga jualnya juga jauh lebih baik dibanding garam meja biasa.
“Jika pasokan garam specialty ini tidak dipenuhi dari dalam negeri, maka akan dipasok dari luar, termasuk proses hand carry dan menghilangkan kesempatan perajin garam lokal mendapatkan manfaat dari permintaan garam khusus ini,” Amalyos mengingatkan. (M Raya Tuah)