SURABAYA – MARITIM : Industri dok dan galangan kapal BUMN, dinilai sebagai entitas usaha yang punya hight technology, hight cost dan highty risk, yang cukup menggiurkan dalam bisnis. Namun dibalik itu, memiliki ciri rendahnya peminat karena harganya yang tinggi, waktu penyelesaian order yang cukup lama, pangsa pasar yang rendah serta sepinya minat bank/lembaga keuangan dalam memback up usaha ini. Kekawatiran yang umum terjadi antara lain sebab lambatnya pengembalian modal, potensi munculnya kerawanan keuangan secara internal serta masih besarnya ketergantungan dengan bahan baku dan suku cadang yang belum digarap lewat industri pendukung di dalam negeri.
Berkaca dengan kerugian akibat penyalah gunaan keuangan suntikan dana pemerintah, pernah terjadi pada tubuh industri strategis milik BUMN yang berlokasi di Surabaya dan telah memiliki reputasi internasional itu. Selama beberapa tahun perusahaan tersebut sempat mengalami stagnasi akibat permainan keuangan di level internal. Padahal, saat itu perusahan dok & galangan itu tengah mengerjakan sejumlah besar kapal berbagai tipe pesanan pemerintah Indonesia maupun dari negara tetangga.
Praktik hanky-panky seperti tersebut di atas, kembali terulang di BUMN industri perkapalan di Surabaya. Hal ini diawali dari kecurigaanBadan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI). Kepada awak media termasuk Maritim di, Didik Farkhan Alisyahdi Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Aspidsus Kejati Jatim) jelaskan bahwa dalam perkara dugaan korupsi pengadaan floating dock crane oleh PT Dok dan Perkapalan Surabaya (PT DPS) masih dilakukan penghitungan kerugian negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI).
Pendalaman audit atas kerugian negara pada proyek pengadaan barang senilai Rp 63,5 miliar tersebut sudah dilakukan di Kejati Jatim sejak sepekan terakhir. Ungkap Adpidsus Kejati Jatim pada seminar Jurnalism Is Not Crime Jum’at (14/12/2018) lalu: “Sudah sekitar sepekan ini para petugas BPK ngantor di Kejati Jatim”.
Saat diminta konfirmasi apakah pihaknya juga melibatkan Pusat Penelitian dan Analisis Transaksi (PPATK) guna melacak aliran dana yang diduga mengalir ke pejabat PT DPS, Mantan Kajari Surabaya ini tak menjawab lugas. Ujarnya: “Ada deh, nanti ada saatnya”.
Seperti diberitakan sebelumnya, Penyidik Pidsus Kejati Jatim telah menetapkan Presiden Direktur PT A&C Trading Network PTE,Ltd di Singapura, Antonius Aris Saputro sebagai tersangka dan langsung melakukan penahanan. Diusebutkan bahwa tersangka merupakan pemenang tender pengadaan floating dock crane senilai Rp.200 miliar, setelah PT DPS menerima penyertaan modal negara (PMN) tahun 2015.
Harga tender yang dimenangkan tersangka berjumlah sebesar Rp 100 miliar dan baru dibayar oleh PT DPS sebesar US$.4,5 juta dolar atau Rp 63,5 miliar. Tetapi, berdasar audit BPK diketahui, bahwa floating dock tersebut merupakan barang bekas buatan Rusia tahun 1973. Hal tersebut tak sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan.
Dok dan galangan pembangun serta reparasi kapal itu telah melampaui batas dari yang ditentukan dalam Permendag, yakni maksimal memiliki usia fabrikasi 20 tahun. Dalam kenyataan, floating dock crane yang dibeli dari Rusia itu telah mermiliki usia pakai 32 tahun. Akibat barang yang sudah renta itu sudah dalam kondisi keropos, dan pada saat akan dikirim ke PT DPS di Tanjung Perak Surabaya, akhirnya kandas di laut. Dari penelisikan terdeteksi bahwa kondisi barang yang telah dipesan itu justru telah diketahui oleh pihak PT DPS. Hal lain yang menimbulkan kecurigaan besar penegak hukum adalah bahwa tersangka yang ditunjuk sebagai pemenang tender pemesanan itu ternyata tak memiliki pengalaman dalam bidang yang ditangani, tak mengetahui spesifikasi barang yang dipesan, serta tak memahami kualita teknis barang tersebut . (AYU/Sub/Maritim)