Eksportasi Ikan Tuna Jadi Andalan Devisa Bali

Penanganan terhadap ikan tuna di Indonesia
Penanganan terhadap ikan tuna di Indonesia

BENOA – MARITIM :Industri pariwisata, memang masih merupakan penunjang utama ekonomi Pulau Dewata. Namun devisa yang masuk ke pundi-pundi Pemerintah Provinsi Bali, ternyata tidak hanya berasal dari kontribusi sektor pelancongan. Karena meskipun tak memiliki pabrik-pabrik dan industri berat, tetapi selama ini Bali juga melakukan eksportasi hasil seni kriya serta hasil perikanan dan kelautan, yang di tahun 2017 telah berhasil memberi kontribusi sebesar US$.326,57 juta. Jumlah itu  meningkat US$.104,04 juta atau 46,76% dibanding dengan tahun sebelumnya yang tercatat US$.222,52 juta.

Dalam wawancara dengan Maritim awal tahun lalu, AA Ngurah Bagawinata Kepala Bidang Pengembangan Perdagangan Luar Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali, menjelaskan: “Perolehan devisa tersebut memberi kontribusi sebesar 48,05% dari total nilai ekspor Bali sebesar US$.679,59 juta untuk tahun 2017”..

Menurutnya, eksportasi tuna di Bali sejak sepuluh tahun terakhir mengalami gejolak pasang surut, hingga berpengaruh pada jumlah alat tangkap berupa kapal yang berhome base di Benoa, tetapi daerah tangkapannya berada di perairan yang cukup jauh, antara lain hingga ke perairan Sulawesi dan Maluku Utara. Menurut Kapala Dinas Kelautan dan Perikanan Bali I Made Gunaya, kalau jumlah kapal ikan yang bermarkas di Benpa pada tahun 2007 mencapai sewkitar 900 unit, kini tinggal berjumlah pada kisaran 700 unit. Susutnya jujmlah populasi kapal penangkap ikan, juga berpengaruh pada produiksi tangkapan yang pada tahun 2014 tercatat 16.122 ton, maka pada 2017 tinggal 18.851 ton.

Selama ini, Bali mengapalkan sebelas jenis hasil kelautan, utamanya berbagai ikan segar dan produk ikan yang telah dibekukan. Namun komoditas sirip ikan hiu yang pernah menjadi primadona ekspor, tak lagi menghasilkan devisa, sedang volume dan perolehan devisa dari rumput laut terus melorot. Dari sembilan jenis komoditas hasil perikanan dan kelautan, yang paling dominan adalah eksportasi ikan tuna segar maupun beku yang mampu hasilkan US$.150,15 juta, meningkat US$.64,73 juta, atau 75,79% dibanding realisasi ekspor tahun sebelumnya yang tercatat US$.85.41 juta. Total volume komoditas hasil perikanan dan kelautan itu meningkat 22,77% dari 11.437,91 ton pada tahun 2016 menjadi 14.042,23 ton pada tahun 2017.

Dijelaskan pula, setelah ikan tuna menyusul pengapalan aneka jenis ikan lain dengan nilai US$.103,66 juta, menurun 5,66% dari tahun sebelumnya senilai US$.109,88 juta. Namun dari segi volume meningkat 8,46% dari 18.845,70 ton pada tahun 2016 menjadi 20.439,73 ton. Ekspor ikan kakap sebanyak 1.514,46 ton senilai US$.39,63 juta selama tahun 2017, untuk volume meningkat 276,58% dan nilai bertambah 589,19%, karena pada tahun sebelumnya hanya mengapalkan 402,1 ton senilai US$.5,751 juta.

Bali juga mengekspor ikan hias hidup sebanyak 861 ekor senilai US$.1.755 selama tahun 2017, merosot 70,65% dari sisi volume, dan dari nilai 68,37%, dibanding dengan tahun sebelumnya yang berhasil mengekspor 2.934 ekor senilai US$.5.549. Untuk komoditas

ekspor ikan kerapu sebesar US$.26,32 juta selama tahun 2017, meningkat 77,44% dibanding tahun 2016 yang hanya menghasilkan US$.14,83 juta. Dari sisi volume meningkat 176,22% dari pengapalan 2.254,46 ton pada tahun 2016 menjadi 6.226,7 ton di tahun 2017. Ekspor Ikan nener mengapalkan 7,99 ton senilai US$.37.420 di tahun 2016 dan ekspor komoditas itu nihil pada tahun 2017.

Sementara itu ekspor lobster tercatat 13,24 ton seharga US$.439,107 selama tahun 2017. Volume ini menurun dibanding tahun sebelumnya yang tercatat 57,62 ton senilai US$.1,452 juta. Menurut Ngurah,.ekspor ikan dan hasil kelautan dari Bali paling banyak menembus pasaran Tiongkok (29,48%), menyusul Amerika Serikat (26,12%), Jepang (16,44%) Taiwan (8,07%), Hong Kong (5,87%) dan Australia (3,99%). Menyusul pasar Singapura (1,55%), Thailand (0,78%), Jerman (0,78%), Perancis (0,68%) dan 6,29% ke berbagai negara lain.

Dalam kesempatan terpisah Dwi Agus Siswa Putra Ketua Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) menjelaskan, masyarakat Jepang yang dikenal sebagai fish-monger, menilai kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mendapat apresiasi sangat tinggi. Begitu pula dengan hasil laut utamaya ikan laut perairan dalam, seperti berbagai jenis ikan tuna.

Terkait lelang ikan asal Bali, harian “Tokyo Today” menulis tentang Kuro Maguro (tuna hitam) di Aomori yang terjual sekitar Rp 4,3 miliar. Sementara itu pelelangan ikan tuna dari Bali seberat 75,5 kilogram di Gifu juga laku dengan harga sekitar Rp 4 miliar. Kuniyagi, seorang pebisnis perikanan Jepang mengungkapkan: “Ikan tuna Big Eye dari Bali memang bagus dan bisa terjual dengan harga tinggi di Jepang”.

Di pusat pasar grosir Gifu “Gifushi no daidokoro” atau Dapur Gifu di Akanabeshinsho Kota Gifu yang per hari bisa menghasilkan omset sekitar 236 juta yen atau sekitar Rp 28 miliar untuk penjualan ikan, sayur dan berbagai makanan, terjual pada pelelangan pertama tahun 2018 ikan tuna asal Bali dengan harga sangat tinggi, mencapai Rp 4 miliar. Pasar ikan Gifu tiap hari disibukkan dengan pekerja sekitar 1.500 orang yang bergerak di bidang perikanan dan pertanian serta perkebunan.

Hosoe Shigemitsu Walikota Gifu sebelum pelelangan awal tahun 2018 yang diikuti oleh 15 perusahaan perikanan, memberi pesan: “Tolong lindungi kehidupan kalian dengan makanan cukup dan segala upaya yang ada, hingga kelestarian alam terjaga lebih baik”.

Pelelangan ikan pertama tahun baru di Jepang, menjadi peristiwa yang cukup mendapatkan perhatian masyarakat lokal maupun nasional. Harga fantastis telah tercapai pada lelang ikan awal tahun 2018. Seekor ikan tuna seberat 405 kilogram laku Rp. 4.4 milliar.  Seekor ikan tuna sirip biru (bluefin) terjual dengan harga 36.5 juta Yen atau sekitar 4,4 miliar rupiah di pasar ikan Tsikiji Tokyo . Jumlah ini masih lebih kecil dibanding lelang tuna sejenisnya pada tahun 2013. Saat itu hasil lelangnya jadi super-fantastis, yaitu Rp.15,5 miliar! Pemenang lelang ikan tuna seberat 405 kilogram ini adalah Hiroshi Onodera, CEO dan Presiden Direktur LEOC Co. Perusahaan ini mengelola beberapa restoran sushi di Jepang. Jika dihitung, per kilogram daging ikan ini harganya sekitar 90.000 Yen atau sekitar Rp.10,6 juta.

Pasar Tsukiji salah satu tempat wisata populer di Tokyo, adalah pasar ikan terbesar di dunia. Tahun lalu Yuriko Koike Gubernur Tokyo, berencana akan memindahkan lokasi pasar ini ke Toyosu, tetapi terus ditunda karena masalah politik. Namun ia mengumumkan bahwa pemindahannya ke pasar yang baru akan benar-benar dilaksanakan dan akan dibuka pada 11 Oktober 2018.

Memungkasi penjelasan, Dwi Agus Siswa Putra katakan: ”Sepanjang kita mampu mengelola industri perikanan tangkap maupun perikanan budidaya sesuai dengan jargon sustainable fishery, maka akan tetap terbuka potensi memanfaatkan hasil alam dari tanah air yang mayoritas terdiri dari lautan”. (Erick Arhadita)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *