KULON PROGO DIY – MARITIM : Pembangunan Bandar Udara International Yogyakarta di Kabupaten Kulon Progo, sebagai pengganti bandara lama di Maguwo yang merupakan milik TNI AU, dimulai dengan sedikit “ontran-ontran” yang melibatkan PT Angkasa Pura serta para pemilik lahan, yang tak urung melibatkan Gubernur DIY yang juga penerus tahta Negari Ngayogyokarto Hadiningrat. Kini, menjelang selesainya proyek dan akan segera dioperasikannya sebagai bandara komersial, muncul pula kecemasan lain. Widjo Kongko, Perekayasa Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengingatkan agar kedepan terdapat kepastian dibangunnya fasilitas tsunami barrier, penghalang tsunami dengan ketinggian 10-15 meter di bibir pantai Kulon Progo untuk antisipasi potensi bencana yang mengancam New Yogyakarta International Airport (NYIA).
Dalam diskusi panel dengan tema “Masa Depan Mitigasi Bencana Tsunami di Indonesia” di Yogyakarta, Senin (14/1/2019), Widjo mengatakan adanya potensi tsunami dengan tinggi gelombang 10-15 meter di bibir pantai yang berjarak 300 meter dari area landas pacu NYIA diasumsikan apabila terjadi gempa megathrust mencapai 8,5-9 skala ricter (SR). Ujarnya:
“Kalau kita sudah mengetahui potensi ini, ini menjadi satu masukan penting untuk saat ini maupun ke depan terkait pembangunan yang ada di sana”.
Menurut dia, titik potensi gempa megathrust di selatan Jawa Tengah dan Jawa Timur paling memungkinkan membawa dampak tsunami hingga 10-15 meter di bibir pantai Kulon Progo. Dengan gelombang tsunami di bibir pantai setinggi itu, sangat memungkinkan munculnya bencana menenggelamkan daratan di kawasan bandara NYIA tergantung kondisi tutupan lahan dan kemiringan lahan di kawasan itu.
Selain itu, Widjo menjelaskan berdasar kajian yang sedang dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengindikasikan bahwa tsunami purba atau tsunami masa lalu pernah terjadi di panjang sebaran diperkirakan mencapai 1.000 kilometer mulai Jawa Barat hingga Pulau Bali. Gelombang tsunami itu dipicu oleh gempa besar dengan magnitude 8,5 sampai 9 SR. Jelasnya: “Tsunami masa lalu atau tsunami purba tersebut nyata, jaraknya katakanlah untuk sedimen tsunami itu 1,5 kilometer dari pinggir pantai”.
Dalam pada itu, Asisten Deputi Infrastruktur Pelayaran, Perikanan, dan Pariwisata Kemenko Kemaritiman Rahman Hidayat mengatakan instruksi mengenai pembangunan infrastruktur penghalang tsunami di NYIA sejatinya telah tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) 98 Tahun 2017.
Dalam Pasal 16 huruf e telah disebutkan bahwa Gubernur DIY, Bupati Kulon Progo, serta Bupati Purworejo sesuai kewenangannya agar melakukan pembangunan dan pemeliharaan sistem peringatan dini bencana tsunami dan penghalang tsunami (tsunami barrier). Ungkap Rahman Hidayat: “Memang secara spesifik mitigasi itu di diperlukan peran dari Pemda DIY, kabupaten Kulon Progo, atau Kabupaten Purworejo khusus untuk peringatan dini dan barrier. Artinya peran Pemda harus ada, hingga tidak semata-mata mengandalkan peran pemerintahpusat”.
Sementara itu, PT Angakasa Pura (AP) 1 selaku pengembang dalam proyek NYIA, menurut Rahman, menyatakan bahwa dalam kawasan lahan bandara khususnya yang mereka kelola dengan luas 587,3 hektar telah didesain tahan gempa dan tsunami. Jelas Rahman: “Mungkin bagaimana dengan implementasi di lapangan ya perlu kita sama-sama cek karena ini kan pembangunan sedang berlangsung”.
Sebelumnya, Project Manager Pembangunan NYIA PT Angkasa Pura (AP) I, Taochid Purnama Hadi menyatakan PT AP 1 telah merancang NYIA di Kabupaten Kulon Progo untuk mampu bertahan terhadap gempa berkekuatan hingga 8,8 Skala Richter. Selain itu, bandara akan tatap kokoh meski diterjang gelombang tsunami setinggi empat meter. Kata Taochid: “NYIA dirancang tahan gempa dan tsunami. Kami merancang konsep gedung terminalnya berdasar konsep ‘green building’ dan dirancang tahan gempa maupun tsunami”.
Ia mengatakan landas pacu dibuat dalam ketinggian bidang empat meter di atas permukaan laut serta lokasinya berada pada jarak 400 meter dari bibir pantai. Kemudian, jarak terminal satu kilometer dari landasan pacu. Hingga bila terjadi kemungkinan terburuk berupa gempa maupun tsunami, masih terdapat jeda waktu untuk penyelamatan diri.
Memungkasi penjelasan, Taochid berucap: “Kami sudah membahas panjang lebar terkait risiko bencana itu dengan para pakar dan akademisi serta ahli bidang terkait dari Jepang untuk membuat simulasi gempa dan tsunami di bandara baru. Kami juga telah melakukan konsultasi dengan BMKG pusat soal potensi-potensi ancaman tsunami berikut bentuk karakteristiknya”. (Erick Arhadita)