KOTABARU KALSEL, MARITIM
Sebelum dikenal sebagai salah satu daerah penghasil batubara di Provinsi Kalimantan Selatan, Kabupaten Kotabaru (uang kini dimekarkan dengan berdirinya Kabupaten Tanah Bumbu), utamanya merupakan lahan subur bagi para nelayan. Karenanya hingga kini, puluhan bagan di perairan Desa Sarang Tiung, Kecamatan Pulau Laut Utara, masih tetap eksis di alur pelayaran internasional, hingga dinilai mengganggu gerak kapal keluar masuk pelabuhan.
Mochran Rasyid Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Kotabaru, Sabtu (19/01/2019) lalu menjelaskan, bahwa saat ini masih terdapat sekitar 35 bagan yang berada di wilayah bebas hambatan yang biasa dilalui kapal. Ungkapnya: “Tiga di antaranya yang berada di alur uyama pelauaran, dinilai berbahaya. Apabila tertabrak kapal, nelayan tidak memiliki hak minta ganti rugi, karena sesuai dengan aturan perundang-undangan mereka tidak dibenarkan membangun bagan di lokasi tersebut”.
Dijelaskan pula, pada masa dulu ada izin untuk membangun bagan, dengan jarak yang diatur paling jauh sekitar 200 meter dari garis pantai. Tetapi kemudian terjadi perubahan yang terkesan ada pembiaran. Karena jumlah bagan bertambah banyak, maka pembangunan alat tangkap ikan jenis itu umumnya kian bergeser ke tengah laut.
Menjawab pertanyaan mengapa fihaknya tak melakukan tindakan mencegah pelanggaran tersebut, Kadis Perikanan Kotabaru katakan: “Sekarang, masalah pengawasan “kapling” di laut, bukan kewenangan kami lagi, tetapi berada di tangan Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP). Karena itu, mereka yang tahu bahwa pembangunan bagan ini mengganggu dan perlu dikoordinasikan”.
Terkait ddengan masalah tersebut, Operation Superintendent PT Arutmin Indonesia NPLCT Kotabaru Y Purwanto mengatakan banyak nakhoda kapal asing dan kapal pandu mengeluh kesulitan ketika melakukan olah gerak saat keluar masuk dermaga milik perusahaan di perairan Tanjung Pemancingan. Katanya: “Kami beri istilah tiang gawang pembatas bagi kapal yang hanya dapat lewat di tengah, sebab di depan dan di kanan banyak bagan, sedang di sisi kirinya merupakan daerah sebaran ranjau”.
Menurutnya, kapal pandu harus ekstra hati-hati agar tidak sampai menabrak bagan. Katanya pula, sejak awal berdirinya PT Aritmin sampai saat ini nyaris tak pernah ada gesekan dengan masyarakat. Hanya saja perkembangan usaha bagan masyarakat terus tumbuh dan masuk alur pelayaran. Imbuh Purwanto: “Itu alur pelayaran internasional, yang menggunakan bukan hanya Arutmin. Tetapi karena home base dan lahan operasional kami yang terdekat, maka kami mencarikan solusi supaya masyarakat bisa tetap berusaha, sermentara kapal yang keluar masuk pelabuhan tidak terkendala”.
Perlu diketahu, mayoritas warga Desa Sarang Tiung bermatapencaharian sebagai nelayan bagan. Namun, Muhammad Yohanis Kepala Desa Sarang Tiung mengatakan selama ini masyarakat kurang mengetahui tentang alur pelayaran. Ujarnya: “Jadi, di mana dia lihat lahan perairan yang kosong, di situ dia membangun bagan. Oleh sebab itu nelayan pun keberatan jika bagannya dibongkar karena untuk membangunnya lagi diperlukan biaya tidak sedikit. Karenanya kami minta tak dilakukan penggusuran. Sebab kalau langsung digusur, akan muncul kesulitan, karena mereka merasa sudah lama punya bangunan bagan di situ”.
Terkait persoalan ini, sosialisasi tentang alur pelayaran telah dilakukan kepada nelayan Desa Sarang Tiung. Selanjutnya akan dilakukan survei ulang terhadap bagan-bagan yang berada di alur pelayaran dengan melibatkan seluruh nelayan. Sementara untuk penataan ke depannya masih dicarikan solusi, agar tidak merugikan nelayan. (Erick Arhadita)