JAKARTA – MARITIM : Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk segera membuka moratorium izin impot limbah plastik yang dibutuhkan oleh berbagai kalangan industri di dalam negeri.
Pada 1 Nopember 2018, Kemenperin telah mengirim surat ke KLHK, dengan No 593/M-IND/11/3018 prihal impor limbah plastik. Surat ditandatangani Menperin Airlangga Hartarto ditujukan kepada Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar. Yang tembusannya disampaikan juga ke Menko Perekonomian, Menteri Perdagangan dan Menteri Keuangan.
“Saya mempertanyakan, mana realisasi surat Menteri Perindustrian kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan beberapa bulan lalu, soal impor limbah plastik,” kata Direktur Industri Tekstil, Kulit dan Alas Kaki Kemenperin, Muhdori, kepada wartawan, kemarin.
Menurut catatan Kemenperin, kebutuhan bahan baku untuk industri plastik nasional adalah 5,6 juta ton per tahun, dipenuhi dari dalam negeri berupa plastik virgin sebesar 2,3 juta ton per tahun. Impor 1,67 juta ton dan dari bahan baku recycle (skrap plastik) dalam negeri sebesar 1,1 juta ton.
Sehingga kekurangan bahan baku plastik yang berasal dari skrap sebesar 600.000 ton per tahun. Kekurangan bahan baku skrap plastik selama ini dipenuhi melalui impor rata-rata sebesar 110.750 ton per tahun. Di mana, mekanisme impornya diatur dalam Permendag No 31 tahun 2016.
Untuk permasalahan tersebut, Kemenperin merekomendasikan bahwa impor limbah non B3 atas sisa skrap pKlastik, sebagai bahan baku industri masih sangat diperlukan. Untuk itu, Menperin berharap Menteri LHK memberikan pertimbangan dan kepastian atas izin impor limbah plastik, agar tidak menimbulkan dampak yang kontraproduktif terhadap kinerja industri plastik nasional.
Muhdori menjelaskan, kebutuhan bahan baku untuk industri tekstil saat ini sudah tidak mencukupi. Khususnya yang berbasis synthetic fiber.
“Dengan begitu, bagi industri tekstil yang memanfaatkan recycle, itu sebenarnya adalah non B3. Jadi bukan sesuatu yang berbahaya. Karena memang kategoriya B3. Karena di tekstil, botol minuman mineral yang bekas itu, masih memiliki nilai tambah tinggi. Nah, kalau impor dalam keadaan virgin harganya makin mahal,” katanya.
Contohnya, PT Hilon, yang membutuh bahan baku plastik cukup besar. Sekarang untuk mengoperasikan tiga pabriknya mereka memperoleh bahan baku dari dalam negeri. Tapi karena mereka memiliki 18 pabrik maka diperlukan impor bahan baku.
“Jadi sebenarnya, kekuatiran KLHK dan pihak lain terhadap impor bisa mendatangkan lmbah itu adalah tidak benar dan salah besar,” tekan Muhdori.
Saat ini, negara pengimpor terbesar limbah plastik adalah Jepang dan Australia. Mereka juga tidak bulat-bulat mengimpor limbah tapi sudah disortir lebih dahulu. Justru di kita yang belom disortir. Artinya, dari pemulung langsung ke pabrik di proses dan sortir, sehingga memakan waktu dan biaya cukup mahal.
Pada kesempatan berbeda, Direktur Industri Kimia Hilir dan Farmasi Kemenperin, Taufiek Bawazier, menambahkan saat ini Permendag No 31 tahun 2016 masih berlaku. Namun di moratorium oleh KLHK. (M Raya Tuah)