JAKARTA: Pemerintah RI perlu serius dan bersinergi dengan semua pihak agar implementasi Multimodal Transport Operator (MTO) di kawasan ASEAN, bisa lebih optimal dilaksanakan.
Wakil Ketua Umum DPP ALFI Bidang Udara, I Gusti Nyoman Rai, menyatakan ALFI siap mendukung fasilitasi dan implementasi MTO di Indonesia.
“Kesiapan itu termasuk menyusun percepatan rencana kerja implementasi dan memberikan masukan tekait revisi regulasi jika diperlukan,” ujarnya melalui keterangan pers DPP ALFI, Jumat (22/2/2018).
Dia mengatakan hal terasebut usai mengikuti Kegiatan Capacity Building Workshop in Multimodal Transport & ASEAN Facilitation Agreement on Multimodal Transport (AFAMT) Meeting, di Ho Chi Minh pada 18-22 Februari 2019.
ALFI merupakan anggota FIATA, yakni suatu organisasi dunia yang sudah menggunakan dokumen pengangkutan FIATA Multimodal Transport Bill of Lading yang disertai Syarat dan Ketentuan Pengangkutan (STC) yang telah berlaku global. FIATA adalah mitra badan PBB dalam pengembangan konvensi internasional terkait logistik dan transportasi.
Kegiatan Capacity Building Workshop in Multimodal Transport & ASEAN Facilitation Agreement on Multimodal Transport (AFAMT) Meeting ini adalah sebuah kegiatan lokakarya dan rapat AFAMT yang difasilitasi oleh Sekretariat ASEAN dan disponsori oleh ARISE+ yang ditujukan kepada perwakilan pemerintah anggota ASEAN dan industri Multimoda Transport yang diwakili oleh anggota AFFA.
AFFA diakui oleh sekretariat ASEAN dan ARISE+ sebagai Multimodal Transport Operator(MTO) di kawasan, sekaligus mitra ahli dari industri di dalam AFAMT.
Adapun Tujuan keseluruhan Lokakarya ini adalah untuk meningkatkan kapasitas pemangku kepentingan, termasuk pejabat Pemerintah dan asosiasi industri, untuk secara efektif mengintegrasikan AFAMT dan transportasi multimoda yang lebih luas ke dalam perencanaan pembangunan nasional setiap negara anggota ASEAN, dengan harapan bisa mempecepat implementasinya.
IDENTIFIKASI MASALAH
Dalam kegiatan itu, teridentifikasi bahwa mayoritas negara di ASEAN menemukan permasalahan dalam implementasi AFAMT, antara lain; peraturan/Perundangan belum ada atau tidak disosialisasikan dengan baik kepada seluruh pemangku kepentingan, dan perlunya Capacity Building pemangku kepentingan, baik (pelaku industri) maupun regulator(pemerintah).
Minimnya Infrastruktur pendukung multimodal transport, dikarenakan investasi tinggi utk lokasi transit, sinkronisasi alat angkut antar negara (misal type dan ukuran trailer, standar emisi, berat per axle), maupun kongesti pelabuhan yang disebabkan rendahnya produktifitas operator juga disoroti dalam kegiatan tersebut.
Selain itu, persoalan lainnya yakni; tidak ada badan pemerintah yang kuat dalam memimpin proses implementasi, dan beragamnya “Liabilities Risk” MTO sehingga besaran limit dan cakupan resiko yang ditanggung oleh asuransi di setiap negara tidak sama.
Disamping itu, diperlukan, IT System untuk mengkontrol, monitor dan melakukan proses kepabeanan., dan menghindari ketergantungan terhadap satu jenis moda angkut (misal angkutan darat saja).
Hal lainnya, Pengakuan MTO oleh pemerintah (custom dan instansi lainnya) juga masih dipertanyakan. Kemudian, yang berkaitan dengan oengenaan pajak untuk “cargo in transit”, dimana ada negara yang memberlakukan pengenaan pajak bagi barang yg masuk kawasan pabean meskipun hanya transit.
Persoalan yang juga disoroti dalam kegiatan itu adalah tidak ada fasilitasi dari bea cukai untuk implementasi MTO, serta sikap Pemerintah yang melihat MTO antar negara lebih sebagai ancamandan bukan peluang untuk menciptakan daya saing kawasan ASEAN.
GANDENG ALFI
Paparan perwakilan pemerintah Indonesia dalam pertemuan ini telah mengusulkan rencana kerangka kerja guna mempercepat implementasi dari AFAMT di Indonesia. Dimana pemerintah indonesia akan menggandeng ALFI di dalam enam subyek yang tercakup dalam kerangka kerja hingga tahun 2023 tersebut.
Dalam rapat ini ARISE+ menyampaikan bahwa kondisi Indonesia cukup memprihatinkan, dimana Indonesia dilaporkan memiliki Sea Port charges & Airport charges tertinggi di kawasan.
Dalam kesempatan yang sama Wakil Ketua Umum DPP ALFI Bidang Hubungan Internasional & Capacity Development, Iman Gandi, menyampaikan bahwa dari 3.412 anggota ALFI di 34 provinsi, 60% masih tergolong usaha kecil (UKM) dengan aset kurang dari Rp 10 miliar.
Dengan komposisi anggota PMA 9 %, PMDN bergerak menangani multimoda transport logistik internasional 35 – 40 %, dan sisanya sekitar 60% menangani barang domestik dan umumnya tergolong UKM.
ALFI melihat perlunya sinkronisasi legislasi terkait Multimoda Trasport, dikarenakan Peraturan Pemerintah PP Nomor 8 Tahun 2011 tentang Angkutan Multimoda tumpang tindih dengan Keputusan Menteri Perhubungan KM No. 10 Tahun 1988 tentang Jasa Pengurusan Transportasi (JPT) yang terbit lebih dulu. Multimoda Transport hanya merupakan salah satu jenis jasa dari perusahaan JPT.
“Malah dengan adanya Peraturan Menteri Perhubungan PM No.49 Tahun 2017, menegaskan eksistensi anggota ALFI sebagai MTO,” ucap Iman Gandi.(Akhmad Mabrori)