JAKARTA – MARITIM : Kemenperin dan UNDP menggelar workshop ‘Penanganan PBDE pada Produk Berbasis Plastik dan Electronic Waste”, Selasa (26/2), di Jakarta.
Negara-negara berkembang, seperti Indonesia, memang masih memiliki beberapa tantangan dalam mengatasi isu penggunaan dan dampak negatif dari polybrominated diphenyl eter PBDE.
Pasalnya, produk-produk elektronik yang mengandung PBDE bisa masuk ke Indonesia karena beberapa hal. Salah satu yang sering terjadi adalah masuknya barang elektronik yang mengandung fire retardant dari negara-negara yang masih mengizinkan PBDE dalam kandungan produknya dan adanya barang-barang elektronik yang mengandung PBDE sebagai firer retardant sebelum adanya peraturan dari global seperti Restriction of Hazardous Substances (RoHS) atau biasa juga disebut sebagai Pedoman Pembatasan Bahan Berbahaya.
Maka dari itu, sebagai salah satu negara yang sudah meratifikasi Konvensi Stockholm, pemerintah mulai melakukan berbagai upaya untuk mengurangi penggunaan PBDE. Salah satu upaya yang sudah dilakukan adalah mendorong penerapan industri hijau.
Hal itu diungkapkan Kepala Pusat Industri Hijau Kemenperin, Teddy Caster Sianturi, yang menyatakan bahwa pemerintah terus mengupayakan penerapan industri hijau dengan cara membuat pedoman terkait pengelolaan limbah elektronik. Di antaranya melalui Permenperin No 41 tahun 2017 tentang Lembaga Sertifikasi Industri Hijau dan menggencarkan Auditor Sertifikasi Industri Hijau (SIH).
Seperti diketahui, saat ini produk-produk yang diduga mengandung PBDE ada pada elektronik, furnitur, otomotif dan lainnya.
Karena itu, peserta diskusi mengusulkan timeline proses pelarangan penggunaan PDBE di lingkungan industri adalah pada awal 2020 terbit aturan pelarangan penggunaan PDBE di bidang industri. Masa transisi pengguna PBDE di bidang Industri antara 2020-2030. Sehingga pada 31 Desember 2030 seluruh perusahaan industri dilarang menggunakan PDBE.
Praktis, jika semua berjalan lancar, maka dari tahun 2008 hingga 2019 dan hingga 2030 dibutuhkan 22 tahun agar PDBE hilang di Tanah Air.
Enri Damanhuri, Guru Besar ITB mengatakan, hidup ini terkadang tidak cukup hanya memiliki satu gawai. Kebutuhan hidup menuntutnya memiliki 3 gawai. Belum lagi laptop, kamera, komputer serta beragam perangkat lain pendukungnya. Power bank, mobile modem, kemudian di rumah tersedia AC, kulkas, TV, lampu LED, dan sofa, horden, tekstil, kabel dan banyak lagi.
“Kehidupan kita saat ini tidak terlepas dari peralatan tersebut, sesuatu yang membantu, namun sayang tanpa sadar turut menyumbang bahaya yang mengancam kualitas hidup dan kesehatan kita,” katanya saat tampil sebagai salah satu pembicara workshop. (M Raya Tuah)