JAKARTA — MARITIM : Ditengah pengetatan likuiditas sektor perbankan dan tren kenaikan suku bunga,PTank Central Asia ( BCA) Tbk dan entitas anak mampu mencatat pertumbuhan kinerja keuangan yang positif, pada tahun 2018, dengan mencatatkan pertumbuhan laba bersih sebesar Rp 25,9 triliun.
Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja , usai memaparkan Kinerja Keuangan BCA 2018, Kamis (28/2) mengaku, pencapaian kinerja yang positif tersebut, ditopang oleh pendapatan
bunga bersih dan pendapaan operasional lainnya tumbuh 10,6 persen menjadi Rp 63 triliun pada 2018 jika dibandingkan dengan tahun 2017 yang sebesar Rp 57 triliun. Ini dikarenakan portofolio kredit BCA pada 2018, meningkat cukup signifikan yaitu 15,1 persen atau Rp583 triliun.
” Pertumbuhan kredit usaha atau kredit korporasi yang mencapai 20,4 persen menjadi Rp 213,3 triliun pada akhir tahun 2018,”ujarnya seraya menambahkan BCA mencatat pertumbuhan kredit usaha yang lebih tinggi, baik pada kredit investasi maupun modal kerja.
Sementara, kredit komersial UKM tumbuh 13,4 persen menjadi Rp 183,8 triliun.kredit konsumer BCA juga tumbuh 9,7 persen mennjadi Rp 140,8 triliun. Jika dirinci, penyaluran kredit BCA untuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR) tumbuh 12 persen menjadi Rp 87,9 triliun serta Kredit Kendaraan Bermotor (KKb) naik 4,4 persen menjadi Rp 40 triliun pada 2018.
“Untuk outstanding kartu kredit tumbuh 11,8 persen menjadi Rp 12,9 triliun,”ujarnya.
Dikatakan, kredit konsumer BCA juga tumbuh 9,7 persen mennjadi Rp 140,8 triliun. Jika dirinci, penyaluran kredit BCA untuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR) tumbuh 12 persen menjadi Rp 87,9 triliun serta Kredit Kendaraan Bermotor (KKb) naik 4,4 persen menjadi Rp 40 triliun pada 2018. Sementara, untu outstanding kartu kredit tumbuh 11,8 persen menjadi Rp 12,9 triliun.
Bicara tentang likuiditas dan penyaluran kredit , Jahja mengatakan, posisi likuditas BCA ditopang oleh solidnya pertumbuhan dana murah (current account saving account/CASA) yang berkontribusi terhadap 76,7 persen terhadap total dana pihak ketiga dengan nilai Rp 483 triiun. Ini karena pengembangan berkelanjutan franchise perbankan transaksi.(Rabiatun)