Pelayaran Pilih Impor Kapal Bekas, Galangan Domestik Kian Lesu

Galangan kapal domestik yang kian sepi
Galangan kapal domestik yang kian sepi

SURABAYA – MARITIM : Terkait dengan rencana pemerintah untuk memberi pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) bagi industri perkapalan di dalam negeri, Askan Naim,  Direktur Utama PT Krakatau Shipyard menyatakan apresiasi dan menyambut baik rencana itu. Menurutnya, kebijakan tersebut akan membuka peluang bersaing dengan negara tetangga. Untuk diketahui, tahun ini perusahaan yang dipimpinnya tengah membidik penjualan hingga senilai Rp350 miliar.

Ungkapnya beberapa waktu lalu: “Dengan adanya kebijakan pembebasan PPN  itu, kami akan mendapatkan ruang bersaing dan tak akan ada perbedaan dengan free zone seperti Batam. Kami berharap pemerintah juga dapat mendorong industri komponen kapal dalam negeri agar tumbuh guna mengurangi impor yang selama ini terpaksa dijalankan oleh pelaku bisnis galangan kapal”.

Menurut Naim, saat ini untuk tiap kapal yang dibangun di galangan kapal dalam negeri masih terdapat komponen hasil impor sebesar 65%-70%. Karenanya, para pelaku bisnis komponen kapal tersebut juga hingga saat ini masih terbentur nilai keenomian terhadap produk yang dihasilkan. Mereka harus berpikir, sejauh mana dan seberapa besar daya serap terhadap produk yang dibangun di Indonesia. Oleh karena itu, sangat diperlukan adanya kontinuitas pembangunan kapal baru di dalam negeri. Bila tidak terdapat keberlangsungan pembangunan kapal-kapal baru, industri komponen kapal yang diharap tumbuh, juga akan menghadapi kesulitan pemasaran, sebab dalam memproduksi komponen mereka juga harus berhitung siapa yang akan menyerap hasil produksinya.

Lemahnya tren pemesanan kapal ge galanbgan dalam negeri, utamanya terdorong masih maraknya pengusaha pelayaran yang melakukan impor kapal dari Tiongkok. Pada hal, bila dinilai dari segi mutu, kapal-kapal impor itu masih berada di bawah kualitas kapal buatan dalam negeri.  Berdasar data mutakhir, jumlah pelaku usaha galangan kapal di Indonesia terdapat sekitar 200 pengusaha, tetapi akibat lesunya pemesanan pembuatan kapal-kapal baru, maka yang aktif hanya kurang dari 100 pengusaha.

“Saat ini kami lebih banyak mendapat order perbaikan kapal-kapal yang dibeli dari Tiongkok, yang ternyata kualitasnya tak sesuai. Akibatnya, setelah dioperasikan 4-5 bulan harus naik dock. Namun kami akui, dengan banyaknya reparasi kapal itu, perusahaan mendapat profit lebih besar. Tiap proyek reparasi satu kapal, perusahaan mendapat profit sekitar 25%-30%. Sedang untuk pembuatan kapal baru, kalau mampu mencapai profit 10% saja, sudah sangat baik” ungkap Askan Naim.

Terkait rencana pemerintah untuk menghapus PPN, perusahaan yang dipimpinnya memberi apresiasi tinggi dan menyambut baik niatan tersebut. Berdasar hal itu, fihaknya membidik penjualan hingga kisaran nilai sekitar Rp 300  – Rp 350 miliar. Namun berapa proyek kapal baru yang akan dibuat perusahaan, Askan masih belum dapat menyebutkan, karena masih harus ikut tender yang baru akan dilaksanakan pada kisaran Maret, April, dan Mei. Saat ini, perusahaan masih mengerjakan pesanan Kemenhub.

Moratorium Impor Kapal

Sebelumnya Ketua Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Pengusaha Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (Iperindo) Edie K. Logam mendesak pemerintah segera berlakukan moratorium impor kapal untuk mendorong berkembagnya industri galangan nasional yang mampu menciptakan lapangan kerja sekaligus menciptakan tumbuhnya industri pendukung. Ujarnya: “Cara ini diyakini mampu membangkitkan industri galangan dalam negeri”.

Menurut Edie, hal Ini sama dengan asas cabotage yang telah sukses diimplementasikan perusahaan pelayaran melalui Indonesian National Shipowner’s Association (INSA) berdasar Inpres 5/2005 tetang Pemberdayaan Industri Pelayaran dan UU 17/2008 tentang Pelayaran, yang telah mampu mendongkrak pertumbuhan kapal nasional hingga lebih 150 %. Melalui Asas Cobotage seluruh komoditi domestik wajib menggunakan kapal dan kru merah putih.

“INSA berhasil dengan Asas Cabotage-nya. Karenanya kami ingin moratorium pengadaan kapal juga terwujud. Moratorium kapal ini membutuhkan campur tangan pemerintah dalam memanfaatkan potensi nasional di sektor indusri galangan untuk pengadaan kapal, sebab SDM kita cukup banyak dan tidak kalah dengan luar negeri” tegas Edie.

Menurutnya, tanpa ada ketegasan pemerintah, industri galangan kapal nasional tak akan tumbuh seperti yang diharapkan. Ujarnya: “Hanya pemerintah yang dapat menghentikan sementara impor kapal. Semua kebutuhan armada wajib di bangun di dalam negeri, kecuali untuk kapal-kapal tertentu yang belum mungkin dibangun di dalam negeri.  Saat ini Iperindo tengah menyiapkan konsep moratorium kapal yang akan disampaikan kepada pemerintah.

Galangan PT PAL fokus ke armada tempur

Fokus Armada Tempur:

Disebabkan lesunya order pembuatan kapal niaga, perusahaan galangan kapal, PT PAL Indonesia saat ini lebih fokus pada sektor galangan pembangunan kapal perang. Menurut Rariya Budi Harta, petinggi PT PAL Indonesia: “Galangan niaga saat ini memang lesu karena perusahaan-perusahaan niaga itu lebih cenderung akan membeli kapal bekas ketimbang membangun kapal baru. Karena itu, tahun ini PT PAL akan lebih fokus pada galangan kapal perang. Jelasnya: “Tahun ini kami telah mendapat kontrak baru dari Kementerian Pertahanan (Kemenhan) yang memesan empat unit kapal perang tipe kapal cepat rudal 60 meter (KCR 60 m)”.

Empat unit kapal perang yang nantinya akan digunakan oleh TNI-AL ini, terdiri dari dua unit KCR 60 dengan paket platform plus sewaco dan dua unit KCR 60 dengan paket sewaco. Tak

hanya segmen galangan pembangunan, PT PAL juga akan mengembangkan usaha di segmen galangan perbaikan. Untuk perbaikan PT PAL tengah mengembangkan usaha perbaikan kapal bawah air atau kapal selam. Untuk segmen perbaikan kapal, PT PAL selama ini disokong oleh kapal perang milik TNI-AL dan kapal niaga milik ASDP serta Pelni. (Erick Arhadita)

 

 

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *