Opini : PERAN PERKEBUNAN SAWIT DALAM KETAHANAN PANGAN DAN ENERGI SERTA KONTRIBUSINYA DALAM SOSIAL EKONOMI SEBAGAI USAHA PENCAPAIAN SUSTAINABLE DEVELOPMENT GOALS (SDGs)

Kebun kelapa sawit (ilustrasi)
Kebun kelapa sawit (ilustrasi)

Oleh: Tegar Hidayat **

INDUSTRI  minyak sawit berkembang dan berevolusi dengan cepat di Indonesia. Komponen SDGs yang tercipta di industri kelapa sawit menyangkut usaha yang berkelanjutan di bidang pangan, energi, dan sosial ekonomi. Berdasarkan MPOB (2009) bahwasannya untuk bahan pangan dari minyak sawit selain minyak goreng ada 36 penggunaan diantaranya adalah margarine, nuts, ice cream, coffe whiteners, palm based yoghurt, vanaspati, sugar confectionary, flour confectionary, dan masih banyak lagi.

Read More

Minyak kelapa sawit terbukti menghasilkan makanan yang lebih sehat. Hal tersebut didukung beberapa alasan, pertama minyak sawit memiliki komposisi yang membuatnya bebas dari asam trans karena bentuk alami semipadat pada suhu ruangan yang membuatnya tak perlu melewati proses hidrogenasi. Ke-2 adalah minyak sawit memiliki kandungan berbagai vitamin yang tinggi di antaranya menurut Palm Oil Human Nutrition (1989) bahwasannya minyak sawit memiliki kandungan vitamin E paling tinggi dari minyak nabati lainnya dimana tocopherol dan tocotrienol yang ada dalam minyak sawit merupakan unsur antioksidan dalam vitamin E serta menurut Hariyadi (2010) memiliki kandungan vitamin A yang tinggi bahkan melebihi wortel dan tomat. Selain itu minyak sawit memiliki kandungan asam lemak esensial yang seimbang. Untuk tocopherol dan tocotrienol sebagai antioksidan sendiri berdasar penelitian memiliki manfaat melawan penyakit kanker, kardiovaskuler, degenerasi sel saraf, stres oksidatif, dan sistem kekebalan tubuh.

Jika dikaitkan dengan kebutuhan minyak nabati dunia, menurut sumber beberapa sumber bahwasannya pada 2050 kebutuhan minyak nabati dunia diperkirakan mencapai angka 340 juta ton. Sumber minyak nabati dunia selain sawit antara lain minyak rapeseed, minyak zaitun, minyak bunga matahari, dan minyak kedelai. Kemudian berdasarkan fakta di lapangan, untuk luasan lahan yang sama kelapa sawit lah yang paling tinggi produktivitasnya dibandingkan sumber minyak nabati lainnya. Jadi minyak sawit lah yang paling efisien untuk diproduksi karena lebih ramah dan efektif dalam penggunaan lahan. Mengingat banyaknya produk turunan pangan membutuhkan minyak sawit serta manfaat dalam gizi dan kesehatan, ditambah sawit memiliki efektivitas tertinggi dalam penggunaan lahan, maka perkebunan sawit adalah sumber ketahanan pangan yang mesti dipertahankan dan dikembangkan.

Selain untuk pangan, sawit juga berkontribusi dalam penyuplai energi. Mandatori B-20 telah dikeluarkan oleh pemerintah pada tahun 2015, sedangkan biodiesel bersumber dari pengolahan minyak sawit. Pada 2019 Indonesia adalah produsen sawit terbesar di dunia, ini berarti mandatori biodiesel memberikan kemanfaatan berupa penghematan impor solar dan membangun kedaulatan energi terbarukan serta mengurangi emisi CO2. Biomassa kebun sawit juga dimanfaatkan sebagai sumber bioetanol atau substituen dari premium, namun untuk bioetanol sendiri masih dalam tahap pengembangan. Limbah cair Pabrik Kelapa Sawit (PKS) juga dapat diolah menjadi Biogas (sumber listrik) melalui tangki digester biogas dimana produksi limbah cair mencapai 223 juta ton per tahun  maka potensi biogas yang dihasilkan adalah 3179 juta kubik gas/ tahun. Produksi biogas/ biolistrik  sudah diterapkan di beberapa PKS seperti di beberapa PKS provinsi Kalimantan Timur. Ketiga energi terbarukan dari sawit tersebut dapat menjadi substituen bagi energi fosil dan sebagai wujud penyokong ketahan energi nasional.

Sosial ekonomi

Di sisi lain, terkait SDM erat dengan sosial ekonomi, perkebunan sawit telah banyak berkontribusi mengembangkan potensi pedesaan dan memajukan kualitas SDM melalui ketenagakerjaan. Pengembangan perkebunan sawit tentu mengikutsertakan penduduk lokal sehingga masyarakat banyak yang memiliki kebun sawit sendiri. Ini terbukti dari jumlah Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dimana komposisinya dari pengusahaan kebun sawit nasional sebesar 41 % (Kementerian Pertanian, 2015). Pembangunan industri perkebunan kelapa sawit merupakan penyedia lapangan kerja yang cukup besar dan sebagai sumber pendapatan petani dan juga berdampak pada masyarakat umum. Hal ini dikarenakan perkembangan perkebunan kelapa menyebabkan peningkatan konsumsi, investasi maupun ekspor menciptakan manfaat yang lebih besar. Pemerataan ekonomi dan penurunan kemiskinan pedesaan oleh perkebunan kelapa sawit berupa penciptaan kesempatan kerja dan kegiatan usaha (UKM) yang menghasilkan penjualan bahan seperti pupuk, alat dan mesin perkebunan, pestisida, dan bahan pangan tentunya.

Data pada gambar 2 membuktikan bahwasannya perkembangan usaha keluarga petani sawit meningkat secara drastis yang awalnya hanya 142 ribu pada tahun 1990, di tahun 2016 mencapai lebih dari 2 juta unit. Tak hanya masyarakat kebun sawit saja, melainkan UKM terkait yang pemiliknya non sawit pertumbuhan UKM nya juga sangat pesat. Pertumbuhan usaha-usaha baru tersebut tercipta karena tingginya permintaan akan bahan pangan dan non pangan di kawasan pedesaan sekitar perkebunan oleh karyawan yang sangat banyak dari kebun sawit. Ini dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan memperbaiki ketimpangan pendapatan antara masyarakat yang bekerja di sawit maupun yang tidak. Dengan kata lain terjadi ikatan yang saling menguntungkan dan berkelanjutan antara masyarakat di kebun sawit dengan masyarakat penyedia bahan pangan, dll seperti peternak, nelayan,dsb.

Dari paparan di atas dan mengingat industri sawit berada di pedesaan pada 190 kabupaten. Dapat dibayangkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi, adanya perkebunan kelapa sawit juga dapat mengurangi pengangguran di pedesaan karena perkebunan kelapa sawit merupakan sektor ekonomi dengan teknologi padat kerja dan juga merupakan teknologi relatif padat karya. Logikanya adalah setiap pertambahan produksi minyak hanya mungkin terjadi jika dilakukan peningkatan penggunaan tenaga kerja pula. Sejalan dengan itu, menurut data PASPI (2014) bahwasannya perkebunan sawit secara umum lebih akomodatif terhadap latar belakang tenaga kerja yang tersedia di pedesaan sehingga dapat dengan mudah menyerap tenaga kerja di desa. Ini sesuai dengan data dari Kementerian Pertanian bahwasannya dari tahun 2000, 2010, 2015, dan 2016 berturut-turut terjadi peningkatan jumlah tenaga kerja sebanyak 2.1 juta, 4.9 juta, 8.0 juta, dan 8.2 juta. ini tentu berdampak postif bagi peningkatan usaha kualitas dan kuantitas tenaga kerja.                                                                                                                            Hal lainnya adalah perkebunan kelapa sawit terdapat di daerah pinggiran, tertinggal dan terisolasi maka perusahaan sawit otomatis akan membuka jalan atau jembatan masuk, pembangunan jalan usaha tani, pembangunan kebun inti dan plasma untuk rakyat (PIR), pembangunan perumahan karyawan, fasilitas pendidikan dan kesehatan, fasilitas sosial atau umum. Argumen ini sejalan dengan fakta yang didapat Kementarian Transmigrasi dan Tenaga Kerja (2014) bahwasannya hingga 2013 paling sedikit terdapat 50 kawasan pedesaan terisolir telah berkembang menjadi kawasan pertumbuhan baru dan basis sentra produksi CPO. Goenadi (2008) bahwasannya lebih dari 6 juta orang yang terlibat dalam perkebunan kelapa sawit Indonesia keluar dari kemiskinan.  Dengan kata lain jika kapasitas perekonomian di desa meningkat maka baik dalam bentuk output, pendapatan, penciptaan kesempatan kerja bukan hanya pada perkebunan  kelapa sawit tetapi juga dalam perekonomian secara keseluruhan seperti lembaga keuangan, restoran dan hotel, pengolahan makanan dan berdampak positif juga di perkotaan karena dinamika masyarakatnya. Sehingga pembangunan sawit bukan hanya membangun desa secara langsung melainkan juga tidak langsung membangun perkotaan.

Sudah sangat jelas bahwasannya dampak positif perkebunan sawit tidak hanya dirasakan oleh masyarakat yang terlibat langsung, melainkan juga masyarakat non-sawit baik di desa maupun kota. Ini juga menandakan industri perkebunan kelapa sawit bersifat inklusif.                                                                               Dalam pembangunan sawit yang berkelanjutan, telah ditetapkan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) & diatur dalam Permentan No. 11/ Permentan/ OT.140/3/2015 dan RSPO (Rountable Sustainable Palm Oil) sebagai optional. Jadi, perkebuan kelapa sawit telah berkontribusi dalam pemberdaya kegiatan ekonomi masyarakat, tanggung jawab sosial komunitas, lingkungan, dan penyokong pangan serta energi terbarukan. Sudah semestinya Indonesia menyadari keunggulan komparatif ini dan harus terus didukung untuk percepatan Indonesia menuju SDGs.

REFERENSI: Goenadi. 2008. Prospective on Indonesian Palm Oil Production Paper Presented on The International Food and Agriculture Policy Council. Spring 2008 Meeting. Bogor.–Hariyadi, P. 2010. Mengenal Minyak Sawit dengan Berbagai karektaer Unggunya. Gapki.—Kementerian Pertanian RI. 2015. Satistik Perkebuan Kelapa SawitIndonesia 2014-2015. Jakarta: Kementerian Pertanian RI.—MPOB. 2009. Pocket Book on Palm Oil Uses. Selangor : MPOB Bangi.

**Penulis adalah Mahasiswa Institut Pertanian Bogor

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *