BANDUNG — MARITIM : Direktur Penelitian dan Pengaturan BPR Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ayahandayani, mengaku masih banyak Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sebanyak 722 perusahaan, hingga Januari 2019 belum memenuhi modal inti mininum. Dari 722 sebanyak 374 BPR belum memenuhi modal inti minimum Rp 3 miliar. Sementara, sisanya 348 belum memenuhi modal inti minimum Rp 6 miliar.
Padahal kata Ayahandayani,ketentuan modal inti minimum ini sudah diatur dalam Peraturan OJK (POJK) yang diterbitkan pada tahun 2015. Dalam aturan itu, BPR diberi waktu untuk menyesuaikan modal inti hingga akhir 2019.
“Ketentuan modal inti minimum memang BPR ini ketentuannya POJK tahun 2015 sudah lama. Kami memberi waktu sejak 2015 untuk memenuhi modal inti minimum,”jelas Ayahandayani dalam acara Media Gathering, di Hotel Four Points Bandung, Jumat (3/5), seraya menambahkan, POJK (2015) itu sebenarnya dua tahap, masing-masing pada saat POJK terbit modal intinya masih di bawah Rp 3 miliar maka akhir tahun 2019 untuk memenuhi Rp 3 miliar. Baru 2024 wajib 6 miliar. Kemudian yang sudah di atas Rp 3 miliar tahun 2019 wajib Rp 6 miliar.
Sebab itu lanjutnya, untuk mendorong BPR memenuhi ketentuan modal intinya, OJK akan mengeluarkan POJK terkait penggabungan, peleburan dan pengambilalihan BPR. Aturan ini, ditargetkan keluar bulan depan atau Juni 2019. Aturan ini memuat ketentuan terkait merger, akuisisi dan lain-lain. Maksudnya, penggabungan, peleburan, pengambilalihan mudah-mudahan POJK-nya akan segera keluar. Di situ memperjelas merger konsolidasi dan akuisi.
Dikatakan, sepertiga BPR lainnya, masih mencoba sendiri menambah modal, namun belum ada perkembangannya dan ini masih dipantau OJK. Sedangkan sepertiganya sudah mulai angkat tangan tidak bisa memenuhi modal intinya. Bahkan ada yang minta di merger dengan BPR yang satu grup dan ada juga yang minta di likuidasi. Tapi kan masih ada waktu hingga Desember 2019, dan kita juga masih monitoring, apakah mereka tidak bisa memenuhi atau tidak.
Aya menegaskan, bila ada BPR yang modal intinya kurang tetapi pemiliknya sama, walaupun wilayahnya berbeda, maka OJK menyarankan untuk konsolidasi saja. Selain itu pemilik juga harus menyelesaikan permasalahan yang ada di BPRnya dan pemilik BPR tersebut tidak akan bisa membuka BPR baru dimanapun.
Dijelaskan, saat ini ada juga BPR yang modalnya di atas Rp 100 miliar mencapai 23 BPR. Meski modalnya cukup untuk menjadi bank umum yang kegiatan usahanya jauh lebih besar, namun OJK tidak menyarankan BPR ini menjadi bank umum.
Pasalnya untuk menjadi bank umum masih banyak persyaratan yang harus dilakukan BPR, seperti persiapan infrastruktur pendukung atau peningkatan SDM dan peningkatan IT.
“Walau modalnya BPR besar ini cukup menjadi bank umum, namun kami tidak menyarankan BPR ini menjadi bank umum, biarlah mereka BPR yang besar di wilayahnya, karena kalau menjadi bank umum banyak persyaratan yang harus dipenuhi,” tegasnya.
Aya juga menambahkan, ke depan tantangan BPR yang harus dihadapi adalah BPR antara lain, revolusi digital, harus bisa bersaing.BPR dalam revolusi digital, BPR harus memiliki IT yang harus disesuaikan dengan perkembangan jaman terutama dalam memasarkan produknya.
“ BPR harus dapat bersaing ditengah persaingan yang ketat sekarang, terutama dalam mencari nasabah dan juga menyalurkan kredit, karena adanya kehadiran fintech dan adanya laku pandai dan agen agen dari bank umum dalam penyaluran pembiayaan,” tegasnya.
OJK mencatat jumlah BPR hingga periode Januari 2019 telah mencapai sebanyak 1.597 BPR. Di mana jumlah tersebut tersebar di seluruh Indonesia, namun yang terbanyak di pulau Jawa dan Bali.
Ayahandayani menjelaskan, dari 1.597 BPR tersebut sebanyak 69 persen atau 1.102 BPR penyebarannya masih berpusat di Pulau Jawa dan Bali. Sedangkan sisanya 31 persen atau sebesar 495 berada di luar Jawa dan Bali.
“Kondisi ini sudah mulai baik, kalo dulu di atas 80 persen di Jawa dan Bali. Tapi karena adanya kebijakan otoritas maka meluas di luar Jawa-Bali,” katanya.
Di samping itu, lanjut Aya, perkembangan kinerja industri BPR juga menunjukkan tren positif. Secara aset pada periode Januari tumbuh 7,69 persen secara atau sebesar Rp 135,5 miliar.
Kemudian dana pihak ketiga juga mengalami pertumbuhan sebesar 8,59 persen secara atau sekitar Rp 92,5 miliar. Pertumbuhan ini juga diikuti kredit yang sebesar 10,19 persen atau Rp 98,6 miliar.(Rabiatun)