SEMARANG – MARITIM : Seusai hari raya Idul Fitri 1440 H/2019 M, kondisi lapangan penumpukan di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya dan Tanjung Emas Semarang yang dikelola oleh PT Pelabuhan Indonesia III (Persero)/Pelindo III, masih berada di posisi cukup normal. Wilis Aji Wiranata, VP Corporate Communication Pelindo III, menjelaskan bahwa kondisi normal di lapangan penumpukan pada kedua pelabuhan tersebut terjadi disebabkan adanya antisipasi dan koordinasi dari berbagai pihak seperti pemerintah, operator terminal hingga pengguna jasa petikemas.
Jelasnya Selasa (11/6/2019) lalu: “Pada saat ini lapangan penumpukan di dua pelabuhan kami tetap masih normal, tidak terdapat petikemas yang menumpuk di containwer yard, atau crowded. Yang eksstra sibuk hingga kini justru penanganan arus mudik bagi pengguna moda angkutan kapal laut”.
Menurutnya, operator kapal angkutan barang, perusahaan ekspedisi muatan kapal laut (EMKL) serta pengusaha-pengusaha sudah mengantisipasi adanya larangan operasional truk selama momen mudik Lebaran. Ujar Wilis: “Sekarang ini kan zamanya sudah modern. Segala jenis informasi sudah sangat cepat diterima oleh pengusaha jasa. Begitu pula perhitungan dan proyeksi para pengusaha juga sangat tepat, hingga tak sampai ada penumpukan barang di pelabuhan, maupun gudang-gudang pendukung di luar pelabuhan”.
Disebutkan, misalnya lapangan penumpukan di Terminal Petikemas Surabaya (TPS) saat ini tingkat Yard Occupancy Ratio (YOR) rerata mencapai 45% untuk layanan ekspor impor. Sedang YOR untuk terminal domestik seperti di Terminal Nilam, saat ini rerata mencapai 55% – 60%, dan Terimal Mirah rerata 40% – 45%.
Berdasar catatan Pelindo III, arus barang di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya hingga April 2019 mencapai 3,96 juta ton, yang berarti meningkat bila dibanding dengan periode sama 2018 yakni 3,92 juta ton. Sementara arus barang di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang termasuk Pelabuhan Tegal per April 2019 sudah mencapai 1,5 juta ton.
Terkait dengan kebijakan perpenjangan pembatasan angkutan barang lewat tol Trans Jawa dari Semarang hingga Rabu (12/6/2019) , Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) menyayangkan kebijakan pemerintah, karena hal itu berpotensi mengakibatkan kerugian dari sisi waktu dan keuangan.
Kyatmaja Lookman Wakil Ketua Aptrindo, menuturkan sebenarnya pengusaha truk tidak pernah setuju mengenai pembatasan angkutan barang. Namun, mengingat volume tinggi, truk beroperasi pun tidak produktif. Ujarnya: “Perlu diingat, terdapat ekstra larangan 2 hari artinya 15 hari sejak 30 Mei 2019, kami tidak bekerja. Hari ini tanggal 10 itu mau kerja saja besok, tapi ini penambahan membuat perencanaan kami untuk kendaraan golongan III, IV, dan V, meleset semua”.
Dituturkan pula, terutama angkutan barang golongan IV dan V yang menghandel kegiatan ekspor dan impor, biasanya angkutan mengambil petikemas isi, tetapi kini tertunda semua. Kendaraan ini tidak dapat digantikan kendaraan yang lebih kecil karena biayanya justru akan jadi lebih besar, belum lagi jumlah pengemudi truk juga tidak siap ditambah.
Sejauh ini, sarana penunjang produksi usahanya yakni jalan dan truk, hingga ketika jalan tak dapat digunakan dan truk tertentu tak boleh beroperasional, maka otomatis harus berhenti berproduksi. Belum lagi akan terjadi kekosongan stok barang yang berakibat terjadinya kerugian bagi pemilik barang. Selain itu, truk memiliki beban leasing yang harus dibayar, dengan fixed cost yang tak berubah kendati tak beroperasi.
Memungkasi paparannya, Lookman berucap: “Harus diketahui bahwa leasing atau kredit truk itu mencapai 20–30% dari total biaya produksi, menjadi faktor utama capital, yang proporsinya cukup besar. Dengan demikian, beban kredit ini menjadi potensi yang kerugian pengusaha”. (Erick Arhadita)