RDG BI, Ketegangan Dagang Tiongkok Amerika Bisa Jadi Peluang Ekspor Bagi Indonedia

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, sedang memaparkan hasil Rapat Dewan Gubernur, Juni 2019
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, sedang memaparkan hasil Rapat Dewan Gubernur, Juni 2019

JAKARTA — MARITIM : Ketegangan hubungan Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) , makin nyata menurunkan volume perdagang dunia. Ini memperlambat pertumbuhan ekonomi disejumlah negara.

Kondisi ini, menurut Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, akan dimanfaatkan Indonesia meningkatkan ekspor. Khususnya untuk produk-produk yang ditinggalkan Tiongkok seperti kimia , besi dan baja, batubara serta minyak nabati. Karena diperkirakan perekonomian Amerika akan tumbuh, meski lebih rendah dari sebelumnya,akibat menurunnya ekspor dan stimulus fiskal yang terbatas. Serta keyakinan pelaku ekonomi yang belum kuat. “Bukan hanya Amerika, ekonomi kawasan Eropa juga melemah . Dan permasalahan struktural terkait aging population yang berlanjut,” tutur Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam pemaparan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, pada 19-20 Juni 2019.

Read More

Pemaparan hasil RDG, yang disampaikan pada Kamis (20/6) di Bank Indonesia, Perry mengatakan, memanfaatkan peluang ini karena Tiongkok dan India yang jadi pasar ekspor Indonesia, pertumbuhannya juga melambat. Akibat penurunan kinerja sektor eksternal , serta pelemahan konsumsi dan investasi.

Dikatakan, pertumbuhan ekonomi yang melambat, kemudian mendorong sejumlah bank sentral menerapkan kebijakan moneter yang lebih longgar. Mengingat dampak terhadap pertumbuhan ekonomi, juga tensi ketegangan hubungan dagang yang makin tinggi, antara Tiongkok dan Amerika. Ini memicu ketidakpastian di pasar keuangan global, yang kemudian mendorong aliran modal keluar dari negara berkembang ke negara maju (flight to quality).

“Perkembang, ekonomi dunia ini, memberikan tantangan dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjaga arus masuk modal asing,”tutur Perry.

Dari pengamatan pasar keuangan global ini, lanjut Perry, Bank Indonesia
menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) rupiah untuk bank umum konvensional, dan bank umum syariah/unit usaha syariah sebesar 0,5 persen dan berlaku efektif pada 1 Juli 2019. Tujuannya,untuk menambah ketersediaan likuiditas perbankan dalam pembiayaan ekonomi, diantaranya meningkatkan ekspor.

Dengan penurunan tersebut,
GWM untuk bank umum konvensional menjadi 6 persen dan bank umum syariah/unit usaha syariah menjadi 4 5 persen, sehingga GWM merata masing-masing tetap sebesar 3 persen. Dengan adanya penurunan GWM ini, maka akan menambah likuiditas di perbankan sebesar Rp 25 triliun.

“Penambahan likuiditas ini diluar operasi moneter yang dilakukan oleh BI. Karena operasi moneter likuiditas yang diterima bank akan berbeda tergantung referensi bank tersebut,”ujarnya.

Dikatakan,dengan penurunan GWM ini, maka likuiditas akan bisa dirasakan semua bank, namun besar kecilnya likuiditas yang akan diterima itu tergantung dari jumlah dana pihak ketiga ( DPK) bank tersebut. Juga dengan penambahan dana Rp 25 triliun ini, akan membuat perbankan bisa memanfaatkan dan meningkatkan ekspansi bisnisnya seperti penambahan penyaluran kredit sehingga bisa mendorong perekonomian nasional.

Diperkirakan, dengan penurunan GWM ini, lanjutnya, pertumbuhan kredit diperkirakan sekitar 10-12 persen.Repo Rate
BI mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 6 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 5,25 persen , dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75 persen.
Keputusan tersebut diambil mengingat kondisi pasar keuangan global dan stabilitas eksternal perekonomian Indonesia dalam mempertimbangkan penurunan suku bunga kebijakan sejalan dengan rendahnya inflasi dan perlunya mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri. (Rabiatun)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *