SURABAYA – MARITIM : Kendati sejak awal 2019 pemerintah telah menurunkan tarif muatan balik sampai dengan 50% dari tarif muatan berangkat, tetapi realisasi muatan balik kapal Tol Laut masih rendah. Berdasar data Direktorat Lalu Lintas dan Angkutan Laut Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan (Ditlala Ditjen Hubla Kemenhub), volume muatan petikemas yang berangkat menggunakan kapal tol laut selama semester I/2019 tercatat 2.276 TEU’s. Tetapi dari sisi volume muatan balik, hanya tercapai 191 TEU’s.
Sebagai contoh, pada trayek H-1 dengan rute pelayaran Tanjung Perak – Makassar – Bitung –Tidore – Tanjung Perak dan T-10 melayari trayek Tidore – Morotai – Buli – Maba – Pulau Gebe -Tidore sebagai feeder trayek H-10, volume muatan berangkat 420 TEU’s, tetapi untuk muatan baliknya 90 TEU’s. Rute ini dioperasikan oleh PT Pelni (Persero).
Di trayek H-3 yang melayari Tanjung Perak – Tenau – Saumlaki – Dobo – Tanjung Perak yang dioperasikan oleh PT Mentari Sejati Perkasa (Mentari Lines), muatan berangkat mencapai 510 TEU’s, tetapi muatan baliknya hanya 10 TEU’s.
Adapun, di trayek H-4 dengan rute pelayaran Tanjung Perak – Makassar – Kendari – Tanjung Perak yang dilayani PT Djakarta Lloyd (Persero), untuk volume muatan berangkat 60 TEU’s, sedangkan muatan baliknya hanya 10 TEU’s.
Sejak awal tahun ini, tarif muatan balik kapal Tol Laut dikurangi menjadi 50% dari muatan berangkat demi memicu return cargo dari Kawasan Timur Indonesia )KTI) yang selama ini masih rendah. Sejalan dengan pemangkasan tarif return cargo, Kemenhub akan ‘memaksa’ operator kapal dan dinas perdagangan daerah untuk menghimpun muatan balik dari timur. Imbauan itu juga dibarengi dengan sanksi: kalau dalam dua voyage tetap tidak ada muatan balik, trayek bersangkutan tidak akan dilayani lagi, atau trayek akan diubah.
Muatan balik menjadi salah satu indikasi yang menunjukkan perekonomian daerah bergeliat setelah program Tol Laut berjalan. Selain itu, keberadaan muatan balik dapat mengurangi beban subsidi serta memangkas biaya per unit barang. Tarif muatan berangkat Tol Laut sesungguhnya selama ini sudah lebih murah, yakni separuh dari tarif komersial. Tarif yang disubsidi itu diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan No PM 113/2018 tentang Tarif Angkutan Barang di Laut untuk Melaksanakan Kewajiban Pelayanan Publik.
Sangat Minim
Rendahnya tingkat pengisian muatan balik Tol Laut dari daerah tujuan , menurut sementara pelaku usaha yang dihubungi maritim.com menduga, antara lain karena banyaknya pelaku usaha di daerah yang belum terhimpun dalam koperasi. Sedang menurut analisis Eka Danila General Manager Strategy Business Unit (SBU) Tol Laut PT Djakarta Lloyd (Persero) katakan bahwa petani, pekebun, nelayan, dan UKM di daerah tujuan tol laut selama ini lebih terbiasa menjual produknya kepada pengepul yang memiliki jaringan logistik ke kapal swasta.
Di sisi lain, para pelaku usaha tersebut tidak dapat mengirim produknya menggunakan kapal Tol Laut karena tidak terdaftar dalam platform reservasi online Tol Laut, yakni Informasi Muatan Ruang Kapal (IMRK). Untuk dapat teregistrasi ke dalam dalam IMRK, para pengirim barang (shipper) antara lain harus berbentuk badan hukum serta memiliki izin usaha dan nomor pokok wajib pajak (NPWP).
Jelas Eka Danila: “Semestinya UKM-UKM, para petani, dan atau nelayan di desa bergabung dalam satu koperasi. Dengan badan hukum, mereka dapat kerja sama dengan kapal Tol Laut melalui gerai maritim”.
Dikatakan lebih lanjut, seharusnya pemerintah daerah berinisiatip memfasilitasi para pelaku usaha setempat guna mendirikan suatu badan hukum dalam bentuk koperasi. Menurutnya, dengan adanya konsolidasi di antara sesama pelaku usaha di daerah, akan terbuka peluang untuk memanfaatkan tarif murah muatan balik yang ditawarkan oleh Kemenhub, akan jadi lebih efektif.
Mengacu data Ditlala Ditjen Hubla Kemenhub, sepanjang semester pertama tahun 2019 mulai bulan Januari hingga Juni 2019 Djakarta Lloyd berhasil mengangkut muatan berangkat sebanyak 60 TEU’s. Tetapi untuk muatan baliknya hanya tercapai 10 TEUs pada rute H-4 pada trayek Tanjung Perak – Makassar – Kendari – Tanjung Perak. Adapun muatan balik di trayek ini umumnya berupa komoditas ikan.
Di rute feeder T-7 dengan jalur pelayaran Makassar – Selayar-Jampea – Ps Wajo – Raha-Makassar, BUMN pelayaran ini mengangkut muatan petikemas pada saat keberangkatan sejumlah 220 TEU’s, tetapi untuk muatan baliknya hanya tercapai 20 TEU’s. Muatan balik di trayek ini umumnya berupa hasil pertanian jagung. Adapun rute feeder T-8 dengan jalur Kendari – Lameruru – Bungku – Kolonodale –Luwuk – Kendari, Djakarta Lloyd mengangkut muatan berangkat sebanyak 80 TEU’s dan muatan balik berupa ikan dalam jumlah 10 TEU’s.
Saran Litbang Kemenhub
Sehubungan dengan fenomena ketidakseimbangan muat kapal-kapal Tol Laut seperti tersebut di atas, beberapa waktu lalu Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemenhub merekomendasikan dua kebijakan terkait dengan Tol Laut. Salah satunya untuk membangkitkan muatan balik dari daerah tujuan.
Sahattua Simatupang Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perhubungan Laut Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Ka Puslitbang LSDP) mengatakan, kebijakan pertama berupa optimalisasi rute dengan menciptakan pelabuhan konsolidasi muatan di daerah tujuan.
Ungkapnya: “Tahun ini, kami telkah mengkaji daerah dengan pelabuhan yang potensial untuk mengonsolidasikan muatan balik Tol Laut di Kepulauan Maluku”.
Sementara itu, Paulus Raga peneliti senior Puslitbang LSDP menjelaskan, akan terdapat tiga titik yang ditentukan sebagai pelabuhan konsolidasi di Kepulauan Maluku. Dari pulau-pulau kecil yang menjadi sentra produksi, komoditas seperti rempah-rempah, kopra, dan ikan, diangkut menggunakan feeder ke pelabuhan konsolidasi. Setiba di pelabuhan konsolidasi, komoditas itu kemudian dimuat ke kapal Tol Laut untuk selanjutnya dibawa ke Jawa atau sentra pengolahan lain. Katanya: “Tiga titik itu masih kami studi. Kedepan, bila pilot project pelabuhan konsolidasi ini berhasil, akan kami terapkan di rute-rute Tol Laut yang lain. katanya. Pelabuhan konsolidasi itu diperlukan untuk menangani isu lokasi-lokasi sentra produksi yang tersebar di provinsi kepulauan dan volume pasokan yang kecil-kecil karena musiman”.
Rekomendasi kedua, berupa pembentukan tim manajemen (integrated ship management system) kapal tol laut untuk mengelola 156 unit kapal negara yang selama ini melayani angkutan laut perintis, barang Tol Laut, rede, dan ternak.
Menurut Sahat ship management system akan memastikan ketersediaan kapal, termasuk mengatur kapal pengganti ketika kapal yang ada sedang dalam perawatan atau rusak. Manajemen kapal juga memastikan ketersediaan ruang di galangan, awak kapal, bahan bakar, dan persoalan operasional lainnya. Sistem ini bakal mengintegrasikan manajemen kapal Tol Laut yang ada di setiap operator.
Memungkasi penjelasan, Sahat berucap: “Tadinya urusan ship management ini ditangani oleh Direktorat Lalu Lintas dan Angkutan Laut (Ditlala) sekaligus. Tetapi, karena jumlah kapal Tol Laut sudah makon banyak, maka perlu ship management tersendiri agar fokus. Bentuk tim itu idealnya berupa badan, seperti Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) yang berstatus mandiri. (Erick Arhadita)