JAKARTA – MARITIM : Kemenperin dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kamis (25/7), melakukan suatu lompatan strategis ke depan di sektor industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Yaitu, dilakukannya penandatanganan kesepahaman (MoU), dengan harapan pada 2030 industri TPT nasional mampu melakukan ekspor dua hingga tiga kali lipat dibanding kondisi saat ini.
Penekenan MoU masing-masing dilakukan Direktur Industri Tekstil, Kulit dan Alas Kaki Kemenperin Muhdori bersama rekannya Direktur Pusat Teknologi Material BPPT Mahendra Anggaravidya. Pelaksanaan MoU dilakukan di Gedung Kemenperin, Jakarta.
Menurut Muhdori, dengan adanya MoU ini, ke depan daya saing industri TPT nasional dapat ditingkatkan lagi. Caranya dengan pengembangan dan pemanfaatan teknologi berbasis industri 4.0.
“Sehingga kita bisa mengetahui parameter seperti apa yang akan diterapkan oleh industri 4.0 pada sektor TPT. Karena nanti yang menetapkan definisi industri 4.0 untuk sektor TPT adalah BPPT,” jelas Muhdori.
Sedangkan Mahendra menambahkan, BPPT nanti akan memberikan dukungan dari sisi teknologinya, termasuk untuk industri proses dan materialnya.
Disampaikan bahwa, MoU antara Kemenperin dan BPPT ini menyangkut dua hal pokok, yakni penyusunan Roadmap Industri Tekstil dan Apparel serta pendampingan implementasi Light House Project Industri Tekstil 4.0.
Peneliti Utama BPPT, Sudirman Habibie, menguraikan peta jalan yang akan dibuat selama enam bulan ke depan ini diharapkan dapat menjadi motor sekaligus ruh dari bergeraknya kembali industri TPT nasional.
Mengingat teknologi yang digunakan oleh industri TPT nasional sudah tertinggal beberapa generasi jika dibandingkan dengan negara-negara pesaing seperti Banglades dan Vietnam.
Buktinya, tambahnya, bisa dilihat seperti kondisinya sekarang ini. Industri TPT nasional berada pada situasi stagnan sejak 30 tahun lalu. Sedangkan negara pesaing kita maju dengan cepat dan akhirnya menyisihkan Indonesia.
“Itu bisa kita buktikan dengan capaian nilai ekspor TPT nasional dari tahun ke tahun. Yakni sejak 30 tahun lalu angka US$13 miliar itu masih tetap sama kondisinya dengan capaian pada 2019,” hitung Sudirman.
Maka dari itu, sambungnya, saat ini industri TPT nasional tidak memiliki kemajuan yang berarti. Kenapa demikian? Karena Indonesia terlambat melakukan up-date teknologi.
Hal lainnya, Sudirman menilai, MoU yang diteken ini merupakan momen penting untuk menempatkan industri TPT nasional sebagai industri primadona. Sehingga membangkitkan kembali jati dirinya yang pernah berjaya.
“Dengan penerapan industri 4.0 pada sektor TPT, saya yakin ketertinggalan TPT nasional dengan negara-negara pesaing dapat kita kejar. Bahkan bisa kita lampaui. Namun dengan catatan, roadmap yang dihasilkan dari MoU ini harus benar-benar diterapkan oleh seluruh pemangku kepentingan,” tekannya.
Khususnya pemerintah dan kalangan perbankan jangan setengah hati memberi bantuan kepada sektor industri TPT nasional tapi harus all-out.
“Kita akan buktikan industri TPT yang sempat disebut sebagai sunset industri itu adalah tidak benar,” janji Sudirman.
Jika semua pihak yang berkepentingan memberi respon positif mendukung industri TPTnasional, kata Sudirman, nilai ekspor yang US$13 miliar itu bisa dua sampai tiga kali lipat diraih Indonesia.
“Saya yakin betul itu terjadi pada 2030. Kejayaan industri TPN nasional akan bersinar kembali meninggalkan Banglades dan Vietnam. Tapi dengan syarat roadmap yang disusun lewat MoU ini harus benar-benar dijalankan,” tandasnya.
Di sisi lain, pintanya, para pelaku industri TPT di dalam negeri tetap menjaga kekompakan. Khususnya antara produsen TPT dengan industri benang. Sehingga Indonesia kembali jadi yang diperhitungkan di kancah global. (M Raya Tuah)